Tim Advokasi Berharap MA Kabulkan Kasasi Korban Korupsi Bansos
Terbaru

Tim Advokasi Berharap MA Kabulkan Kasasi Korban Korupsi Bansos

Dinilai ada kekeliruan dari majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat menganulir upaya hukum korban korupsi bansos.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Tim Advokasi Korban Bansos meluncurkan laporan eksaminasi atas penetapan hakim yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti rugi korban korupsi bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial, Selasa (28/12) yang lalu. Foto: CR-27
Tim Advokasi Korban Bansos meluncurkan laporan eksaminasi atas penetapan hakim yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti rugi korban korupsi bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial, Selasa (28/12) yang lalu. Foto: CR-27

Tim Advokasi Korban Bansos yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Visi Integritas dan Law Office, Charge.org, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), dan Lokataru meluncurkan laporan eksaminasi atas penetapan hakim yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti rugi korban korupsi bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial, Selasa (28/12) yang lalu.

Peluncuran laporan eksaminasi ini dimulai dengan penayangan film pendek yang diproduksi oleh koalisi masyarakat sipil mengenai permasalahan bansos yang terjadi karena adanya pandemi yang muncul pada tahun 2020. Seiring dengan pandemi yang muncul, berdampak kepada kesejahteraan masyarakat yang banyak di PHK akibat perusahaan tidak mampu menstabilkan keadaan di tengah pandemi, adanya PHK massal dan banyaknya pengangguran membuat masyarakat luntang-lantung demi bisa menghidupi diri dan keluarga.

Pemerintah kemudian mengadakan sebuah bantuan sosial dan pembuatan kebijakan bantuan sosial melalui Kementerian Sosial yang pada saat itu dikepalai oleh mantan menteri sosial Juliari P. Batubara. Dari pemberian bantuan sosial ini ada beberapa bantuan yang disuap oleh Juliari P. Batubara. (Baca: Jalan Terjal Penegakan Ganti Rugi Korban Korupsi Bansos)

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 18 warga yang berdomisili di Jabodetabek mengajukan perlawanan hukum dengan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti rugi Pasal 98 KUHP. Pasal 98 ini membahas mengenai suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. 

Laporan eksaminasi ini dihadiri oleh para eksaminator, yakni Agustinus Pohan sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan Ahmad Sofian selaku dosen Universitas Bina Nusantara. Para eksaminator ini berpendapat bahwa adanya kekeliruan dari majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat menganulir upaya hukum korban korupsi bansos.

“Lahirnya KUHP ini seharusnya memperbaiki keadaan dari persoalan itu, KUHP berupaya memberikan perlindungan masyarakat, di antaranya korban kejahatan. Putusan majelis hakim ini seakan-akan seperti membantu terdakwa. Seharusnya ada kesimbangan antara melindungi terdakwa dan korban kejahatan. Ini harus dipahami terkait upaya penggabungan itu jelas kita kecewa, seakan-akan perlindungan beralih ke terdakwa sedangkan korban dikalahkan,” kata Agustinus Pohan.

Pasal 98 lahir akibat adanya peristiwa masa lalu khususnya kejahatan lalu lintas yang bertujuan agar pelaku melakukan ganti rugi terhadap korban. Ide lahirnya Pasal 98 ini menurut Agustinus agar bisa memulihkan korban serta meminimalisir penderitaan korban.

Penggabungan dalam pasal ini merupakan dalam rangka prinsip keseimbangan yaitu melindungi harkat dan martabat dari pelaku kejahatan, tetapi juga memberikan perlindungan kepada masyarakat.

“KUHP pada dasarnya bukan hanya melindungi pelaku kejahatan, lahirnya KUHP untuk memperbaiki keadaan itu, KUHP sekaligus berupaya memberikan perlindungan masyarakat diantaranya korban kejahatan dan ini merupakan bagian perlindungan yang seimbang antara melindungi kepentingan terdakwa dan korban kejahatan,” tambahnya.

Agustinus mengatakan, sejak dahulu ketentuan penggabungan itu punya banyak kelemahan. Mengenai batasan tentang materi gugatan yang terbatas pada kerugian materil, hukum acara terkait dengan hukum acara perdata dan hukum acara pidana serta eksekusinya.

Bagaimanapun yang terpenting yang disoroti oleh Agustinus adalah pemulihan korban. Dalam kasus Juliari P Batubara, tidak hanya masyarakat yang dirugikan, namun negara dan lingkungan hidup turut menjadi korban. Untuk melakukan pemulihannya maka dilakukan percepatan kebutuhan korban. Pohan mengusulkan untuk bersama-sama menyusun suatu prosedur yang pro korban dalam kasus ini.

Argumen majelis hakim yang menolak permohonan itu sangat mungkin diperdebatkan. Menurut Agustinus, domisili Juliari di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjadi pokok alasan penolakan permohonan yang sudah diajukan tim advokasi korban bansos menjadi hal yang tidak masuk akal. Pohan dengan tegas mengatakan kekecewaan atas putusan tersebut.

“Ini terkait dengan kewenangan relatif pengadilan alias tidak mutlak. Di dalam KUHP dimungkinkan peradilan dilakukan dimana kebanyakan sanksi berdomisili yang bertujuan untuk efisiensi waktu. Mahkamah Agung bisa memberikan kebijakan dengan memungkinkan diselenggarakannya pengadilan di tempat lain,” jelasnya.

Menurutnya, dari sudut hukum acara perdata yang prinsipnya di mana tempat kediaman tergugat yang merupakan kewenangan relatif. Dilakukannya peradilan di tempat lain boleh dilakukan, sepanjang tidak ada keberatan dari pihak lain.

“Sejauh ini Juliari sebagai terdakwa tidak merasa keberatan mengenai domisili yang menjadi alasan penolakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat ini putusan Mahkamah Agung menjadi harapan agar segera mengeluarkan putusan dan mengabulkan seluruh dalil para korban korupsi bansos. Putusan Mahkamah Agung ini akan menjadi penentu nasib pemulihan korban korupsi agar tujuan Pasal 98 yang ditafsir oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang bertujuan membantu korban ini tidak dianggap seolah-olah seperti membantu terdakwa,” tutupnya.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga anggota tim advokasi menambahkan para korban korupsi bansos itu sedang mengupayakan pemulihan hak-haknya yang telah dirampas pelaku korupsi. Akibat praktik korupsi tersebut, paket bantuan sosial berupa sembilan bahan pokok itu kualitasnya sangat buruk.

“Penetapan PN Tipikor itu justru bertolak belakang dengan semangat pemulihan korban sebagaimana diharapkan UNCAC,” kata Kurnia.

Tags:

Berita Terkait