Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna
Oleh: Imam Nasima *)

Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna

Dua pertanyaan mendasar yang sering muncul sehubungan dengan permasalahan eksekusi grosse akta sebenarnya cukup sederhana, yaitu apakah grosse akta dapat langsung dieksekusi dan bagaimana eksekusi grosse akta tersebut dilakukan.

Bacaan 2 Menit
 
Hipotek, sebagai suatu instrumen hukum yang diatur dalam KUH Perdata, telah mengalami banyak perubahan setelah berlakunya UU Pokok Agraria No. 5/1960. Pada masa kolonial, hipotek digunakan untuk menyebut istilah jaminan kebendaan menyangkut tanah-tanah yang tunduk di bawah hukum Eropa, sedangkan ikatan kredit untuk tanah-tanah adat tertentu (lihat juga Peraturan Tentang Credietverband, S. 1908-542 jo. 1909-586, 6 Juli 1908). Setelah berlakunya UU Pokok Agraria No. 5/1960, dualisme hukum pertanahan dihapuskan. Meski ditujukan untuk menyatukan sistem hukum pertanahan nasional, namun pada kenyataannya peraturan tersebut juga menggantikan hukum kebendaan yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang menyangkut masalah tanah, tak terkecuali permasalahan hipotek atas tanah. Sejak saat itu, hipotek dan ikatan kredit sebenarnya hendak digantikan dengan instrumen baru bernama hak tanggungan (Pasal 51 UU Pokok Agraria No. 5/1960). Namun demikian, pengaturan mengenai hukum kebendaan tersebut tak langsung diselesaikan sampai tuntas. Sebelum berlakunya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, pengaturan yang dilakukan hanya berupa pendelegasian pada peraturan-peraturan pelaksana pada level Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Agraria. Betul bahwa sebelum tahun 1996 telah ada suatu peraturan yang menyinggung hal ini, yaitu UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun, tapi peraturan perundang-undangan ini pun hanya didasari kepentingan pragmatis pengaturan kredit kepemilikan/pembangunan rumah susun.
 
Bagaimana akta hipotek dan akta ikatan kredit pada akhirnya tidak digantikan dengan akta hak tanggungan, namun dengan sertifikat hak tanggungan, sebenarnya dapat ditelusuri kembali pada peraturan-peraturan yang muncul pada tahun 60-an. Ketika itu diatur bahwa grosse akta hipotek/credietverband dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dan disertakan pada sertifikat terkait untuk berlaku sebagai grosse akta sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR (Pasal 7 Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband). Kemudian pada tahun 1996 ditegaskan kembali bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan memuat irah-irah itulah yang berlaku sebagai grosse menurut Pasal 224 HIR (Pasal 14 UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan). Mengapa hal ini terjadi, sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tetapi kemungkinan besar tak lepas dari peran pembuat dan pendaftar akta yang pada masa kolonial menjadi tanggung jawab satu pihak yang sama, yaitu Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik Nama/Overschrijvingsordonnantie, S. 1834-27, terakhir diubah S. 1933-48jo.S.1938-2).
 
Dalam perkembangannya lebih lanjut, peran pembuat dan pendaftar akta tersebut dipisahkan, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pembuat akta, serta Pejabat Kantor Pertanahan sebagai pendaftar akta. Dan beberapa literatur mencatat Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1987 (sayangnya peraturan ini belum berhasil ditemukan) yang mengindikasikan asal muasal penegasan dalam UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu bahwa grosse akta yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR adalah sertifikat hak tanggungan, merupakan pendapat BPN. Sebelum berlakunya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, sebagian ahli mengukuhkan pendapat BPN ini (antara lain Setiawan: 1991), namun ada pula yang tetap berpendapat bahwa grosse akta adalah salinan dari akta otentik yang dibuat oleh notaris (antara lain Ida Bagus Ngurah Adi: 1992).
 
Persyaratan dan keabsahan grosse akta hipotek/akta pengakuan utang/sertifikat hak tanggungan yang kemudian berkembang, sebenarnya tidak banyak berubah. Selain penegasan mengenai perlunya irah-irah sebagai dasar kekuatan eksekutorial, pengaturan lebih banyak terfokus pada siapa yang berwenang untuk mengeluarkan grosse akta/sertifikat tersebut.
 
Seperti sudah dibahas di atas, untuk grosse akta pengakuan utang adalah notaris yang membuat akta tersebut, untuk sertifikat hak tanggungan pejabat pendaftar tanah, serta untuk grosse akta hipotek kapal adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di bawah menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran (Menteri Perhubungan). Hal terakhir ini sudah mulai diatur dalam PP No. 51/2002 tentang Perkapalan yang ditegaskan kembali dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Untuk pejabat yang berwenang ini, sebenarnya logikanya mirip dengan grosse akta hipotek tanah yang kemudian menjadi sertifikat hak tanggungan. Pada masa kolonial dulu pada prinsipnya tugas dan tanggung jawab pembebanan dan pendaftaran hipotek dipegang oleh atau di bawah pengawasan Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik Nama yang sudah disebut di atas dan Peraturan penDaftaran Kapal/Teboekstelling van Schepen, S. 1933-48 jo. S. 1938-2, 4 Februari 1933). Perdebatan mengenai siapa yang mengeluarkan grosse akta, sebenarnya berhubungan erat dengan fungsi yang disandang pihak tersebut.
 
Mengapa peran/fungsi pejabat yang menerbitkan grosse akta menjadi begitu penting? J. Satrio menyebut bahwa grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, karena “pejabat yang menetapkan hak yang ada dalam akta yang bersangkutan, mempunyai integritas yang tinggi” (J. Satrio, SH., 2002, hlm. 238). Hal ini dapat juga diartikan bahwa siapa yang berwenang untuk mengeluarkan grosse akta, pada prinsipnya mengemban tanggung jawab untuk membuat grosse dengan tepat dan benar. Bukankah pada akhirnya pihak tersebutlah yang menanggung penggunaan nama Tuhan (irah-irah) dalam grosse akta yang dikeluarkannya? Sehingga, apabila di kemudian hari ada permasalahan dalam eksekusi, bisa jadi masalahnya bukan pada pengadilan yang tidak mengerti atau menghargai legitimasi grosse akta ini, tapi memang akta tersebut dibuat dalam bentuk yang tidak mungkin untuk dieksekusi. Lalu bagaimana membuat grosse akta dengan tepat dan benar?
 
Pada prinsipnya eksekusi dapat dilaksanakan apabila ada kejelasan mengenai cakupan eksekusi. Kejelasan ini dapat berupa barang tertentu atau sejumlah nilai uang tertentu. Kejelasan akan obyek dan/atau besaran uang yang diperjanjikan, bahkan telah dijadikan sebagai syarat pembuatan akta hipotek/hak tanggungan/pengakuan utang. Namun demikian, dalam literatur dan putusan banyak diperdebatkan definisi “tertentu” atau “pasti” tersebut. Terlebih lagi, apabila di kemudian hari kreditur melaksanakan eksekusi, bukan tidak mungkin debitur telah memenuhi sebagian utangnya yang tercantum dalam akta terkait. Bukankah nilainya bisa jadi tidak lagi sesuai dengan yang tercantum dalam akta?
Tags: