Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna
Oleh: Imam Nasima *)

Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna

Dua pertanyaan mendasar yang sering muncul sehubungan dengan permasalahan eksekusi grosse akta sebenarnya cukup sederhana, yaitu apakah grosse akta dapat langsung dieksekusi dan bagaimana eksekusi grosse akta tersebut dilakukan.

Bacaan 2 Menit
 
Dalam sebuah kasus, Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang cukup menarik tentang menentukan besarnya nilai tertentu tersebut, yaitu “berdasar atas rasa keadilan dengan berpedoman pada kreditur (pembukuan bank) pada saat kreditur mengajukan permohonan lelang eksekusi grosse akta hipotek kepada Ketua Pengadilan Negeri” (Putusan MARI No. 2702.K/Pdt/1995, 28 Oktober 1998). Perselisihan mengenai besarnya nilai utang sebenarnya tidak akan menjadi hambatan serius terhadap eksekusi, apabila pada saat pembuatan juga dicantumkan keterangan yang jelas mengenai cara menghitung obyek eksekusi yang bersumber dari isi akta itu sendiri. Lalu bagaimana eksekusi itu sendiri dilakukan?
 
Untuk permasalahan eksekusi, sebenarnya hasil temuan juga tidak kalah menarik. Akibat dari pendapat pengadilan untuk selalu memeriksa dan menguji dulu grosse akta yang dimintakan eksekusi, pada akhirnya hak penerima hak tanggungan/pemegang hipotek untuk melakukan penjualan langsung (parate executie) juga menjadi terbatas. Namun demikian, hal ini bukan permasalahan dalam level praktek saja. Kesalahpahaman mengenai pengertian eksekusi telah muncul akibat dari peraturan perundang-undangan yang dalam penjelasannya menyatukan parate executie dan eksekusi dengan menggunakan grosse akta. Sudah ada beberapa literatur membahasnya dan meluruskan hal ini. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, sementara ini tulisan mengenai grosse akta harus penulis akhiri di sini. Dalam waktu dekat akan ada dokumen yang memaparkan permasalahan ini dengan lebih komprehensif lagi.
 
Sementara dapat disimpulkan bahwa grosse akta yang berkekuatan eksekutorial adalah salinan pertama akta-akta tertentu yang diatur dengan undang-undang memiliki kekuatan eksekutorial, yaitu meliputi salinan pertama akta pengakuan utang, salinan akta hipotek (kapal), dan sertifikat hak tanggungan. Syarat keabsahan surat-surat yang demikian, pada intinya diatur secara formal dengan menetapkan pejabat yang berwenang untuk membuat surat-surat tersebut. Selain itu ada pula syarat-syarat materiil yang ditentukan oleh undang-undang yang seharusnya dipastikan pemenuhannya oleh pejabat terkait. Pada intinya syarat-syarat tersebut ditetapkan untuk menjamin terlaksananya eksekusi. Dan jika dalam prakteknya nama Tuhan tidak lagi bermakna, pasti bukan karena kesalahan Tuhan, namun karena kesalahan pejabat terkait yang menjalankan tugas dan tanggung jawab Atas Nama-Nya. Masalah ini tentu tidak akan terselesaikan hanya dengan perubahan irah-irah atau penegasan kekuatan eksekutorial saja.     
 
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Apabila kita perhatikan baik-baik bunyi Pasal 224 HIR, maka dua pertanyaan yang tampaknya sederhana itu ternyata mengandung banyak permasalahan yang mesti diperjelas lagi. Isi lengkap Pasal 224 HIR adalah sebagai berikut: Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: "atas nama keadilan" di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti. Dalam hal ini, agaknya cukup jelas bahwa grosse akta, apabila tidak dipenuhi secara baik-baik oleh debitur, dapat langsung dieksekusi oleh kreditur, dengan meminta fiat (perintah) eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, jawaban atas kedua pertanyaan tersebut di atas juga tidak begitu sulit dijawab, yaitu bahwa grosse akta dapat langsung dieksekusi sebagaimana layaknya putusan hakim, serta mekanisme eksekusinya mengikuti eksekusi putusan hakim sebagaimana tersebut dalam HIR, yaitu dengan peringatan kepada debitur, penyitaan, dan penjualan.Pada kenyataannya, sejak dekade 1980-an pengadilan di Indonesia mengambil sikap berbeda. Antara lain bisa ditelusuri dari surat-surat yang pada waktu itu dikeluarkan oleh Ketua Muda Perdata Tertulis Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH (Catatan No. VII/1988/Perdata, Pebruari 1988 yang diselipkan di bawah Putusan No. 1520K/Pdt/1984, 31 Mei 1986). Prof. Asikin berpendapat bahwa “hakim tetap berwenang untuk menentukan apakah pelaksanaan eksekusi grosse acte tersebut dapat dikabulkan atau tidak”, alasannya karena pada saat itu sudah tidak ada lagi perjanjian memuat simple loan yang dapat dibuat grosse aktanya.
Halaman Selanjutnya:
Tags: