Tujuh Poin Kritik ICW di 100 Hari Masa Kerja Firli Bahuri Cs
Berita

Tujuh Poin Kritik ICW di 100 Hari Masa Kerja Firli Bahuri Cs

KPK anggap kritik agar pemeberantasan korupsi lebih baik.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa baru berakhir pada September mendatang, dan tidak pernah dijatuhi sanksi di KPK. Berdasarkan catatan hukumonline, sempat terjadi simpang siur siapa yang mengusulkan pemindahan Roda dan nasibnya setelah dikembalikan ke institusi asal. Awalnya disebut telah dikembalikan ke institusi asal, tapi kepolisian mengatakan Rosa masih bertugas di KPK.

Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku.

“Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap,” terangnya.

Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya: (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang: (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya: (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Selanjutnya ayat (5) menyebutkan: Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. Lalu ayat (6) menyatakan: Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. Terakhir, ayat (7) menegaskan bahwa Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(Baca juga: Ketua KPK: Penghentian 36 Kasus Tidak Bersifat Final).

Poin kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga antirasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang. Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs.

Keenam Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara, antara lain kunjungan ke DPR, DPD, dan MPR. Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. “Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya,” tutur Kurnia.

Tags:

Berita Terkait