UI Diadukan ke Ombudsman
Berita

UI Diadukan ke Ombudsman

Terdapat ribuan karyawan yang berstatus tidak jelas.

Ady
Bacaan 2 Menit
Universitas Indonesia diadukan ke Ombudsman. Foto: Sgp
Universitas Indonesia diadukan ke Ombudsman. Foto: Sgp

Enam orang yang mewakili Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI) mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia terkait dugaan maladministrasi di tempat mereka bekerja. Kampus Jaket Kuning itu dianggap tidak melaksanakan beberapa peraturan yang berkaitan dengan sistem ketenagakerjaan yang berakibat pada banyaknya status karyawan UI yang tak jelas.

Ketua PPUI, Andri G Wibisana, mengatakan persoalan ini bermula dari keberadaan PP No. 152 Tahun 2000 yang mengubah status UI dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Perubahan status tersebut juga berimplikasi pada masalah non akademik seperti ketenagakerjaan. Pasal 42 PP 152/2000 misalnya yang menyatakan bahwa dosen dan tenaga kependidikan diangkat serta diberhentikan berdasarkan perjanjian kerja.

Dalam ketentuan itu juga diatur bahwa pekerja yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) berubah menjadi pegawai universitas atau pekerja tetap ketika universitas beralih status menjadi BHMN.

Pasal 42 itu juga menegaskan bahwa UI akan menganut sistem kepegawaian tunggal, yaitu semua karyawan berstatus sebagai pegawai universitas. Sistem kepegawaian tunggal ini diharapkan terwujud paling lambat pada 2010.

Dari pantauan pekerja, mulai tahun 2000, dengan dalih menjalankan PP 152/2000 secara konsisten, pimpinan UI memutuskan untuk menghentikan perekrutan PNS. Langkah senada menurut Andri juga dilakukan oleh Majelis Wali Amanat (WMA) UI.

Sayangnya, lanjut Andri, UI terkesan tidak konsisten karena di sisi lain UI tak kunjung mengangkat ribuan pekerja non-PNS menjadi pegawai universitas. Akibatnya, sistem kepegawaian tunggal sebagaimana amanat dari PP 152/2000 tidak terjadi, yang ada malah multi sistem kepegawaian.

Dari data yang diperoleh, Andri mengatakan pekerja UI secara keseluruhan mencapai lebih dari 10 ribu orang. Terdiri dari empat ribu pekerja berstatus PNS, 500 pekerja berstatus pegawai universitas atau dikenal dengan pegawai BHMN dan sisanya tidak jelas statusnya.

Kemudian, dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), menurut Andri pemerintah menerbitkan PP No 66 Tahun 2010. Regulasi tersebut menurutnya meminta UI dan beberapa universitas sejenis mengubah statusnya dari BHMN menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan pemerintah (PTP).

Andri dkk menilai pasal 220A ayat (3) jo pasal 58F PP 66/2010, mengamanatkan agar status kepegawaian pekerja berstatus non PNS diangkat menjadi PNS. Sayangnya, sampai hari ini Andri dkk belum melihat adanya itikad baik dari pimpinan UI dan pemerintah untuk menjalankan amanat itu.

Atas dasar itu Andri dkk merasa telah terjadi praktik maladministrasi yang melembaga di UI terkait persoalan ketenagakerjaan. Selain itu pimpinan UI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dianggap diam dan melakukan pembiaran.

Andri dkk sebetulnya telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan kasus ini ke lembaga terkait lainnya, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) dan Komnas HAM dan lainnya. Sayang sejauh ini belum ada yang membuahkan hasil.

Oleh karena itu Andri dkk berharap Ombudsman dapat melakukan tindakan nyata. Dalam pengaduannya dia berharap agar Ombudsman dapat menyatakan bahwa telah terjadi maladministrasi di UI. Khususnya dalam tata kelola kepegawaian di UI. Selain itu memberikan teguran dan peringatan keras kepada pimpinan UI dan Kemendikbud terkait maladministrasi tersebut.

“Memberikan perintah atau rekomendasi kepada pimpinan UI dan Menteri pendidikan dan kebudayaan untuk melaksanakan proses pengalihan status pekerja non PNS menjadi PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Andri kepada anggota Ombudsman di kantor Ombudsman Jakarta, (4/6).

Pada kesempatan yang sama, anggota PPUI, Hendi Ruswandi mengatakan persoalan ketenagakerjaan yang ada di UI sudah berlangsung lama. Namun, pimpinan UI dinilai tidak melakukan tindakan apa-apa untuk melakukan perbaikan. Pria yang bekerja pada bagian umum di Fakultas Kedokteran ini bekerja dengan status honorer sejak tahun 1992. Lalu pada tahun 1998 Hendi baru disodori kontrak kerja yang diperpanjang setahun sekali.

Pada tahun 2011 kontraknya habis dan sampai hari ini belum diperpanjang, sehingga status kerjanya tidak jelas. Walau begitu Hendi mengaku upahnya tiap bulan masih dibayar. “Upah bulanan dapat tapi status kerja saya tidak jelas,” kata Hendi.

Masih dipelajari

Menanggapi pengaduan itu, anggota Ombudsman, Budi Santoso, mengatakan Ombudsman masih membutuhkan dokumen yang lebih lengkap dari pihak PPUI. Mengingat pengaduan itu soal maladministrasi maka Budi menyebut Ombudsman akan melakukan pengecekan secara administrasi apakah kebijakan yang diterbitkan oleh dekan dan lainnya sudah memenuhi regulasi yang ada.

Setelah menemukan ada kejanggalan, maka pimpinan universitas akan dipanggil untuk menjelaskan dan mengklarifikasi atas temuan itu. Selain itu lembaga terkait juga akan diminta keterangannya misalnya dari Kemendikbud dan Kementerian PAN dan RB. Dia berharap berbagai pihak yang dipanggil bersikap kooperatif sehingga memudahkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Ombudsman.

Bila pihak yang diminta keterangannya oleh Ombudsman tidak hadir memenuhi panggilan sebanyak tiga kali, menurut Budi, Ombudsman dapat melakukan pemanggilan paksa dengan menggandeng pihak kepolisian. Kewenangan itu menurut Budi terdapat dalam Pasal 31 UU No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

“Pejabat publik atau terlapor yang diundang Ombudsman sampai tiga kali berturut-turut tanpa alasan atau penjelasan yang dapat diterima oleh Ombudsman itu dapat dipanggil paksa,” kata Budi kepada hukumonline dari ruang kerjanya usai menerima pengaduan PPUI di gedung Ombudsman Jakarta, Senin (4/6).

Namun, Budi berharap agar pihak terkait dapat bekerjasama, sehingga pemanggilan paksa itu tidak perlu dilakukan. Sampai saat ini, Budi melanjutkan, Ombudsman belum pernah menggunakan kewenangan pemanggilan paksa tersebut. Walau begitu Budi mengatakan siap jika kewenangan itu dibutuhkan.

Tags: