Upaya Mengatasi Hambatan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup
Utama

Upaya Mengatasi Hambatan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup

Setiap perlawanan menunda eksekusi sebaiknya ditolak dan melanjutkan eksekusi; perlu disusun pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi perkara lingkungan; hingga penggugat sebaiknya mengajukan sita jaminan untuk memudahkan pelaksanaan isi putusan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Narasumber dalam diskusi daring bertema 'Mengurai Benang Kusut Pemulihan Lingkungan Hidup Pasca Putusan Pengadilan', Kamis (25/11/2021). Foto: ADI
Narasumber dalam diskusi daring bertema 'Mengurai Benang Kusut Pemulihan Lingkungan Hidup Pasca Putusan Pengadilan', Kamis (25/11/2021). Foto: ADI

Tidak sedikit gugatan yang dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada perusahaan yang melanggar ketentuan perundang-undangan terkait lingkungan hidup. Dari berbagai gugatan yang dimenangkan KLHK dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) ternyata tidak mudah untuk dilakukan eksekusi.

Plt Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung, Prim Haryadi, menghitung putusan perkara lingkungan hidup yang berhasil dieksekusi jumlahnya sangat sedikit. “Baru satu atau dua (putusan, red) yang sudah dieksekusi,” kata Prim Haryadi dalam diskusi daring bertema “Mengurai Benang Kusut Pemulihan Lingkungan Hidup Pasca Putusan Pengadilan”, Kamis (25/11/2021).

Sengketa lingkungan hidup melalui proses gugatan perdata ini dapat dilakukan melalui prosedur hak gugatan perdata konvensional; gugatan perwakilan kelompok (class action); hak gugat LSM (legal standing); Anti-Slapp; citizen law suit (hak gugat warga negara); dan tanggung gugat mutlak.

Prim menjelaskan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan meliputi ganti kerugian dan pemulihan lingkungan. Pemulihan lingkungan hidup adalah tindakan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup yang telah tercemar dan/atau rusak sesuai dengan fungsi dan/atau peruntukannya.

Dia menyebut sampai sekarang pedoman pelaksanaan eksekusi sengketa perdata lingkungan hidup belum diatur secara tegas melalui peraturan hukum positif yang mengakibatkan penerapannya belum seragam dan membutuhkan keseriusan para stakeholder terkait. Salah satu ketentuan yang menjadi pedoman pengadilan dalam mengadili perkara lingkungan hidup yakni SK KMA No.36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

“Dalam praktik ada perkara dimana petitum pemohon tidak mencantumkan bentuk pemulihan lingkungan hidup. Maka yang menjadi acuan adalah Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup,” ujarnya. (Baca Juga: Ada Peluang Mengatasi Kendala Eksekusi Pemulihan Lingkungan Hidup)

Prim menjelaskan setidaknya ada 2 jenis hambatan dalam pelaksanaan eksekusi putusan lingkungan hidup. Pertama, hambatan secara umum meliputi jarak objek eksekusi yang jauh dan sulit ditempuh kendaraan; biaya eksekusi yang mahal terutama pengamanan dari kepolisian.

Hambatan lain yakni ada perlawanan dan pengerahan massa dari pihak termohon eksekusi; aparat keamanan yang tidak memadai; objek yang dieksekusi tidak berada di tangan pihak termohon eksekusi; amar putusan tidak jelas; ketidakhadiran termohon eksekusi pada tahap pemberian teguran (aanmaning) atau bahkan pada saat eksekusi dijalankan.

“Pandemi Covid-19 juga berpengaruh karena membatasi kegiatan masyarakat pada tingkat kabupaten/kota,” kata dia.

Kedua, hambatan dalam pelaksanaan eksekusi pemulihan lingkungan hidup antara lain pelaksanaan eksekusi tindakan tertentu pada sengketa perdata lingkungan hidup belum diatur secara spesifik. Pemulihan lingkungan hidup memerlukan waktu yang lama dan tidak bisa diperkirakan jangka waktunya serta butuh biaya besar.

Sekalipun bisa dilakukan eksekusi, tapi siapa pihak yang bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan eksekusi? Kemudian siapa yang melaksanakan eksekusi pemulihan lingkungan hidup karena cara-cara melakukan pemulihan itu belum dipahami oleh pelaksana putusan.

Persoalan lainnya yakni Pasal 8 Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2014 mengatur pembayaran kerugian lingkungan hidup merupakan PNBP dan wajib disetor ke kas negara. Prim menyebut harusnya masuk ke kas KLHK agar bisa langsung digunakan untuk melakukan pemulihan. Eksekusi juga bisa terhambat jika penggugat tidak mengajukan sita jaminan dalam gugatannya, padahal ini penting untuk memudahkan pelaksanaan putusan.

“Permohonan eksekusi sengketa perdata lingkungan hidup membutuhkan biaya pelaksanaan yang cukup besar, seperti pengamanan, sewa peralatan dan perlengkapan, dan biaya untuk pengawas eksekusi,” bebernya.

Untuk mengurai persoalan eksekusi putusan pemulihan lingkungan hidup yang berkekuatan hukum tetap, Prim mengusulkan 9 hal. Pertama, setiap perlawanan yang diajukan oleh termohon eksekusi ataupun pihak ketiga yang sengaja menunda eksekusi, sebaiknya ditolak dan melanjutkan eksekusi.

Kedua, perlunya peningkatan dan kapabilitas aparatur pelaksana putusan pengadilan. Dalam hal ini ketua pengadilan, panitera, maupun jurusita/jurusita pengganti mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait isu hukum terkini, kemampuan negosiasi, penelusuran aset, komunikasi dan hal lain yang sangat menunjang eksekusi putusan.

Ketiga, perlu disusun pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi perkara perdata khusus lingkungan. Keempat, pelaksanaan eksekusi perkara lingkungan, pemohon eksekusi perlu melibatkan berbagai instansi terkait dan ahli, terutama dalam pencarian aset dan tindakan pemulihan lingkungan.

Kelima, dalam tindakan pemulihan perlu dibuat rencana pemulihan secara konkret dan valid. Keenam, pembayaran denda ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan tidak dimasukan dalam rekening kas negara, tapi dibuat rekening khusus dan dipakai untuk penyelamatan kelestarian kepentingan lingkungan.

Ketujuh, setiap langkah penegakan hukum dalam perkara lingkungan hidup dapat dilakukan terobosan hukum dengan cara melakukan judicial activism, dengan semangat pro natura. Kedelapan, perlu diatur secara tegas, siapa yang menanggung biaya pada tahap pelaksanaan eksekusi (pengamanan, sewa alat dan perlengkapan, dsb). Kesembilan, penggugat sebaiknya mengajukan sita jaminan dalam pengajuan gugatan perdata lingkungan hidup untuk memudahkan pelaksanaan isi putusan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Andri Gunawan Wibisana, menegaskan sekalipun eksekusi berhasil dilakukan dan sejumlah denda sudah dibayar bukan berarti persoalannya selesai. Menurutnya, langkah penting yang harus dilakukan yakni melakukan pemulihan lingkungan hidup.

“Pada saat uang itu sudah dibayar dan masuk kas negara atau kas KLHK, maka pemulihan lingkungan hidup harus segera dilakukan,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Oleh karena itu, Andri mengusulkan antara lain untuk putusan yang sudah inkracht van gewijsde, pengadilan harus menjadikan rencana pemulihan lingkungan sebagai bagian dari syarat eksekusi putusan. Perlu ada penegasan bahwa uang yang diperoleh pemerintah hanya dapat ditujukan bagi pemulihan lingkungan.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), M Tanziel Aziezi, mengatakan hasil penelitian LeIP tahun 2019 menemukan putusan perkara pidana lingkungan hidup sulit untuk dilakukan eksekusi. Beberapa penyebabnya yakni denda masuk dalam PNBP, sehingga tidak digunakan langsung untuk pemulihan lingkungan hidup.

Persoalan lain, tidak ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme eksekusi terhadap penjatuhan tindakan perbaikan lingkungan akibat tindak pidana. Bagaimana jika pelaku tersebut tidak mau melakukan pemulihan sebagaimana putusan? Dia membandingkan dengan UU Pemberantasan Tipikor, jika terpidana dibebankan untuk membayar kerugian negara, tapi tidak melaksanakannya, maka hartanya dirampas. Jika jumlahnya belum cukup dikenakan penjara pengganti.

Tapi mekanisme seperti UU Pemberantasan Tipikor itu tidak ada dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga tidak ada mekanisme paksa dalam perkara lingkungan hidup. “Ini merupakan salah satu hambatan juga dalam eksekusi putusan perkara lingkungan hidup,” kata Tanziel.

Tags:

Berita Terkait