UU HPP Diyakini Tingkatkan Kinerja Perpajakan
Terbaru

UU HPP Diyakini Tingkatkan Kinerja Perpajakan

UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi nasional.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Gedung Kementerian Keuangan. Foto: RES
Gedung Kementerian Keuangan. Foto: RES

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) secara resmi sudah disahkan oleh pemerintah bersama DPR pada Kamis, (8/10). Dalam keterangan resminya pada Senin, (11/10), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan bahwa UU HPP mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensialnya dengan perbaikan administrasi maupun kebijakan.

"Dengan demikian, perpajakan nasional semakin siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi ke depan. Ini tongkat estafet yang penting dari berbagai reformasi yang telah dilakukan sebelumnya,” kata Febrio.

Dari sisi administrasi, lanjutnya, UU HPP menutup berbagai celah aturan atau loop holes yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini, terutama berkaitan dengan maraknya bisnis berbasis digital mengikuti pesatnya kemajuan teknologi informasi. Sedangkan dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi nasional.

UU HPP juga akan menguatkan efektivitas fungsi APBN, yang meliputi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, di mana ketiga fungsi itu akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila ditopang oleh pendapatan negara yang kuat, pengelolaan belanja negara yang berkualitas, serta pengelolaan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. (Baca: Plus Minus Aturan Perpajakan dalam UU HPP)

Dia menambahkan basis dari reformasi perpajakan ideal yang dilakukan melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dalam UU HPP tercermin antara lain pada dukungan penguatan UMKM dengan memberikan batasan peredaran bruto usaha tidak kena pajak sebesar Rp500 juta dan tetap mempertahankan diskon PPh sebesar 50 persen.

Sementara itu, keadilan dan keberpihakan pada sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan tetap melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya.

"Masyarakat tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial," kata Febrio.

Selanjutnya, UU HPP juga me-refocusing pengecualian (exemption) dan fasilitas PPN agar sistem PPN lebih adil dan tepat sasaran, namun tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha, sehingga basis pajak akan diperluas dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, kemanfaatan bagi kesejahteraan umum, dan kepentingan nasional.

UU HPP juga memberikan kemudahan dan dukungan pada pengusaha kecil dalam melakukan kewajiban PPN dengan memperkenalkan tarif final untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan peredaran usaha tertentu, jenis barang/jasa tertentu, dan/atau sektor tertentu.

Sebagai bagian dari strategi reformasi administrasi perpajakan, Febrio menyebutkan UU HPP akan mendorong kepatuhan sukarela, dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, dan memberikan kepastian hukum perpajakan. Hal ini dilakukan melalui penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi, penyesuaian persyaratan bagi kuasa wajib pajak, serta penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak. Dengan berbagai perubahan kebijakan maupun peningkatan kinerja administrasi perpajakan, ia UU HPP memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan.

"Dalam jangka pendek di tahun 2022, penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan rasio di kisaran sembilan persen PDB, selanjutnya dalam jangka akan mencapai lebih dari 10 persen PDB paling lambat pada 2025, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan," tutup Febrio.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mewakili pemerintah menegaskan substansi UU ini menjadi mata rantai tak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang telah dijalankan. Pandemi Covid-19 menjadi momentum mempercepat proses reformasi perpajakan dan menata ulang sistem perpajakan Indonesian agar mampu mengadopsi praktik terbaik serta mengantisipasi dinamika sosial ekonomi di masa yang akan datang.

Menurutnya, reformasi perpajakan dilakukan dalam aspek administrasi dan kebijakan. RUU HPP menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan dalam membangun pondasi perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel dalam jangka menengah/panjang. Tujuannya, antara lain meningkatkan pertumbuhan dan percepatan pemulihan perekonomian. Kemudian mengoptimalkan penerimaan Negara; mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi; kebijakan perpajakan yang konsolidatif dan perluasan basis pajak; serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Pemerintah berharap melalui RUU HPP, ke depannya pajak benar-benar hadir mendukung rakyat dan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional, serta meningkatkan keadilan di masyarakat. Yasonna mengungkapkan bahwa penerapan tarif PPh Badan sebesar 22%, penerapan tarif PPN sebesar 11% pada April 2022 mendatang.

Kemudian pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS) pada sementer I tahun 2022 dapat meningkatkan komtribusi penerimaan perpajakan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2022 mendatang. “Ini mendukung penyehatan kembali APBN dengan defisit maksimal 3% pada tahun 2023,” katanya.

Tags:

Berita Terkait