UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi
Utama

UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi

Apakah tindakan penegakan hukum dapat dibenarkan dengan cara-cara yang melanggar hukum?

M-1
Bacaan 2 Menit

 

Pemohon menilai dengan melekatnya fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sekaligus satu atap pada KPK di satu sisi dan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang ada pada lembaga kepolisian dan kejaksaan di sisi lain, merupakan suatu bentuk kerancuan hukum dan tidak adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

 

Menurut pemohon, serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam pengungkapan kasus korupsi pemohon dengan cara menjebak, tidak dapat dibenarkan. Pemohon beralasan bahwa penjebakan dibolehkan hanya dalam pengungkapan kasus psikotropika dan narkotika. Dengan adanya pasal 12 ayat (1) huruf a, pemohon menganggap telah diperlakukan secara diskriminatif dan tidak didudukkan sebagai orang yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum karena pemohon telah di sadap dan direkam tanpa seizinnya, padahal komunikasi pemohon baik yang bersifat privacy maupun publik merupakan hak yang harus dlindungi.

 

Dengan adanya penyadapan, pemohon merasa dirugikan atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 G UUD 1945 serta pasal 17 instrumen Internasional Pokok  HAM yang telah diratifikasi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2005.

 

Apakah dibenarkan cara-cara yang tidak sah seperti itu dilakukan untuk serangkaian tindakan penyelidikan? UU Telekomunikasi melarang setiap orang yang berkomunikasi direkam dan disadap dengan media komunikasi apapun. Apakah tindakan penegakan hukum dapat dibenarkan dengan cara-cara yang melanggar hukum? kata Sirra seusai sidang kepada hukumonline.

 

Selanjutnya, pemohon menganggap telah diperlakukan diskriminatif dan tidak mendapatkan kedudukan yang sama di hadapan hukum dengan tidak berwenangnya KPK untuk mengeluarkan permohonan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) sebagaimana terdapat dalam pasal 40 UU Nomor 30 tahun 2002, padahal lembaga seperti kepolisian dan kejaksaan memiliki kewenangan untuk itu. Dengan tidak adanya kewenangan tersebut pada KPK, menurut pemohon merupakan inkonsistensi prinsip praduga tak bersalah dalam penegakan hukum.

 

SP3 itu suatu instrumen untuk mengontrol suatu tindakan aparat penegak hukum, apakah due processnya benar atau tidak, apakah orang yang tidak cukup bukti  proses hukumnya tetap berlangsung atau tidak. Karena instrumen itu tidak ada, maka kata ‘tidak' dalam pasal 40  itu kami minta untuk dinyatakan tidak mengikat, jelas Sirra.

 

Selain itu, dengan keberadaan pasal 70 dan 72, pemohon menilai telah adanya ketidakpastian hukum didalam pemberlakuan UU KPK karena Walla telah disidik dan dituntut berdasarkan tempus delicti (waktu kejadian) perkara sebelum disahkan dan diundangkannya UU No 32 Tahun 2002.

Halaman Selanjutnya:
Tags: