UU P3H Rampas Lagi Hak Masyarakat Hukum Adat
Berita

UU P3H Rampas Lagi Hak Masyarakat Hukum Adat

Hutan adat telah diakui sebagai entitas tersendiri yang seharusnya dikelola MHA setempat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Agraria dari Universitas Andalas, Kurnia Warman saat menyampaikan keahliannya dalam sidang uji materi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kamis (15/1). Foto: Humas MK
Pakar Hukum Agraria dari Universitas Andalas, Kurnia Warman saat menyampaikan keahliannya dalam sidang uji materi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kamis (15/1). Foto: Humas MK
Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan pengakuan atas tanah adat. Pengakuan konstitusional ini seharusnya mendapat perlindungan lebih jauh dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Namun sejumlah norma dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dianggap tak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945. UU P3H, misalnya, dianggap kembali merampas hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) yang dijamin konstitusi. Sebab, selain dikriminalisasi di wilayahnya sendiri, hak-hak ulayat MHA atas bumi, air, kekayaan alam telah dirampas oleh pemerintah.   

“MHA mengalami nasib tragis ibarat ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’,” ujar Dosen Hukum Agraria Universitas Andalas, Kurnia Warman, saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU Kehutanan dan UU P3H di ruang sidang MK, Kamis (15/1).

Kurnia berpendapat pengakuan dan penghormatan MHA dan hak ulayatnya secara tegas dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Konstitusi menyebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

“Ketentuan itu memberi pesan jika negara membentuk pemerintah daerah keberadaan MHA harus menjadi pertimbangan serius, bukan justru malah mengancam keberadaan kesatuan MHA dan hak-hak tradisionalnya,” kata Kurni Warman.

Dia berpendapat penyelenggaraan pemerintah negara di berbagai bidang seperti pertanahan, kehutanan, pertambangan, perkebunan tidak boleh menghapuskan hak ulayat MHA atas tanah dan kekayaan alam di sekitarnya. “Kalau ada UU penyelenggaraan negara yang menghapus hak ulayat MHA itu dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional),” tegasnya.

Misalnya, Pasal 11 ayat (4) UU P3H menyebutkan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan atau sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk komersial harus mendapat izin pejabat yang berwenang. “Ketentuan ini harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang ‘masyarakat’ yang dimaksud termasuk MHA,” lanjutnya.

Terlebih, lanjutnya, berdasarkan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terkait pengujian UU Kehutanan dinyatakan hutan adat – yang sebelumnya bagian dari hutan negara – tidak lagi menjadi hutan negara. Jadi, hutan adat telah diakui sebagai entitas tersendiri yang seharusnya dikelola MHA setempat.

“Atas dasar putusan MK itu, MK diharapkan kembali menjadi tumpuan MHA agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap MHA ketika memanfaatkan hak ulayat mereka untuk kebutuhan sehari-hari,” harapnya.               

Sebelumnya, Koalisi LSM yang terdiri Yayasan WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), ICW, Yayasan Silvagama, Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo bersama perorangan yaitu Edi Kuswanto (NTB), Rosidi (Jawa Tengah), Mursyid (Banten) memohon pengujian sejumlah pasal dalam UU P3H dan UU Kehutanan.

Mereka meminta MK membatalkan sejumlah pasal dari UU P3H, yakni Pasal 1 angka 3; Pasal 6 ayat (1) huruf d; Pasal 11 ayat (4); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 26; Pasal 46 ayat (2), (3), (4); Pasal 52 ayat (1); Pasal 82 ayat (1), (2); Pasal 83 ayat (1), (2), (3); Pasal 84 ayat (1), (2), (3); Pasal 87 ayat (1) huruf b, huruf c, ayat (2) huruf b, huruf c dan ayat (3); Pasal 88; Pasal 92 ayat (1); Pasal 94 ayat (1); Pasal 110 huruf b; Pasal 112 terkait tindakan (pidana) pengrusakan hutan bagi masyarakat.

Para pemohon menilai pasal-pasal dalam UU P3H yang awalnya untuk mencegah perusakan hutan secara masif dan canggih. Namun, faktanya materi UU itu justru sangat tendensius dengan mengkriminalisasi masyarakat hukum adat, masyarakat desa sekitarnya yang hidup bergantung dari hutan karena dituduh sebagai pelaku kejahatan pengrusakan hutan.

Para pemohon juga menguji Pasal 50 ayat (3) huruf a, b, e, i dan k;  Penjelasan Pasal 12; Pasal 15 ayat (1) huruf d dan Pasal 81 UU Kehutanan. Para pemohon menilai pasal-pasal tersebut hanya mengkriminalkan masyarakat lokal dan desa yang bersinggungan dengan kawasan hutan. Ironisnya, tak satu pun kasus yang bisa menjerat korporasi seperti yang diniatkan UU P3H. Padahal, menurut pemohon, korporasilah sebenarnya aktor utama maraknya praktik mafia hutan.
Tags: