UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, Kado Terburuk Bagi Nelayan
Berita

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, Kado Terburuk Bagi Nelayan

Pemerintah menilai substansi UU tersebut sebagai perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional.

RFQ
Bacaan 2 Menit
UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, Kado Terburuk Bagi Nelayan
Hukumonline
Di penghujung 2013, DPR mennyetujui Revisi UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di penghujung 2013 lalu. Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyayangkan, persetujuan  rancangan regulasi itu dilakukan tanpa partisipasi dan peran masyarakat  nelayan tradisional dan tembak secara terbuka. Persetujuan dilakukan secara terbatas dan tertutup hanya dengan melibatkan pihak akademisi dan pengusaha.

Halim berpendapat, regulasi yang diharapkan dapat menjadi aturan demi kemajuan masyarakat nelayan tradisional dan tambak, malah menjadi kado terburuk di awal 2014. “Hal tersebut sejatinya mengakibatkan pelanggaran mendasar atas hak partisipasi warga negara dalam kebijakan nasional,” ujar Sekjen KIARA Abdul Halim dalam siaran persnya kepada hukumonline, Kamis (2/14).

Berdasarkan kajian KIARA, terdapat beberapa  perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam UU tersebut. Pertama, dimasukannya unsur masyarakat  dalam mengusulkan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil yang ‘disetarakan’ dengan pemerintah dan dunia usaha.

KIARA berpandangan revisi tersebut menyalahi Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan  antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. “Padahal sejak awal sudah berbeda subyeknya,” katanya.

Menurutnya, DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menghendaki adanya persaingan bebas, sehingga akan mendiskriminasi nelayan tradisional. Begitu pula mengenai hak keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu.

“UU tidak menjelaskan hak keberatan tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana keberatan serta jangka waktu tertentu tersebut,” katanya.

Kedua, Pasal 21 dan 22 Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir,  mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban memiliki perizinan lokasi dan pengelolaan. Abdul menilai, Pasal 21 mensyaratkan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat adat mengelola ruang penghidupannya, namun di lain sisi membenturkannya dengan frasa ‘mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundangan’.

Dia menambahkan, dalam revisi UU tersebut tidak menjelaskan definisi ‘kepentingan nasional. Bahkan, masyarakat hukum adat diwajibkan mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan. Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum.

“Terlebih, revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memandatkan  kepada pemerintah untuk aktif melakukan pengakuan terhadap kesatuan hukum adat sebelum penerbitan perijinan,” ujarnya.

Ketiga, diubahnya skema hak menjadi perizinan melalui dua tahap yakni izin lokasi dan pengelolaan berpotensi melanggar hak nalayan. Menurutnya, skema perizinan  tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir dan pulau kecil.

“Alhasil, regulasi tersebut akan membiarkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal  turun temurun dilanggar haknya,” kata Abdul.

Keempat, munculnya Pasal 26 A dinilai akan mempermudah penguasaan oleh pihak asing atas pulau-pulau kecil. Pasal itu mengatur pemanfaatan  pulau kecil dan perairan di sekitarnya melalui skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Padahal, pemanfaatan pulau kecil mengutamakan kepentingan nasional. Sayangnya, dalam regulasi itu tidak dijelaskan definisi frasa ‘mengutamakan kepentingan nasional’.

“UU tersebut seolah ingin melindungi kepentingan rakyat, namun mustahil investor asing akan memprioritaskan kepentingan bangsa dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujar Halim.

Kelima, kewenangan menteri dipandang terlampau luas dengan kekuasaan menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Pasalnya rawan memunculkan praktik tukar guling  kawasan konservasi, yang berujung merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. “Apalagi denfinisi  nelayan tradisional di dalam revisi UU Pesisir ini sangat sempit,” katanya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo mengatakan, revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil justru menjamin hak masyarakat adat setempat. Menurutnya, revisi UU tersebut untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir  dan pulau kecil. Diharapkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir akan meningkat.

Ia berpendapat berdasarkan Pasal 33 UUD 45, kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Semua ini berarti UU No.27 menjamin akses masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil,” ujarnya.

Sharif menjelaskan, substansi UU tersebut sebagai perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisonalnya.

“Kalau dulu untuk menyusun rencana pengelolaan, rencana aksi, dan rencana strategis hanya melibatkan Pemda dan dunia usaha. Sekarang, ditambah masyarakat. Jadi revisi ini sudah menegakan prinsip good governance,” ujarnya.

Menurut Sharif, pemerintah telah melibatkan kalangan akademisi dari berbagai universitas, praktisi pengelolaan pesisir, masyarakat pesisir, pelaku usaha, serta lembaga kemasyarakatan dalam upaya merevisi UU sebelumnya.

“Kami sudah mengadakan konsultasi dengan berbagai perguruan tinggi, begitu juga masukan dari masyarakat seperti rekan-rekan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dilibatkan. Agar ada input sebagai bahan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah untuk memformulasikan substansi UU itu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait