UU TPPU Dinilai Ampuh Kejar Aset Kejahatan Perbankan
Utama

UU TPPU Dinilai Ampuh Kejar Aset Kejahatan Perbankan

Mayoritas kejahatan perbankan bermula dari pengucuran kredit fiktif.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Foto: FAT
Foto: FAT
Dampak dari belum tuntasnya penanganan kasus Bank Century membuat sejumlah pihak harus berpikir panjang. Salah satu yang belum tuntas adalah mengenai pengejaran aset. Padahal, pengejaran aset merupakan hal penting dalam penuntasan sebuah kasus.

Pakar Hukum Pencucian Uang, Yenti Ganarsih, berpendapat hampir seluruh kejahatan perbankan melibatkan orang dalam dari industri perbankan. Atas dasar itu, pengawasan dari regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi hal yang penting. Bahkan, pengawasan harus ketat sejak masih di tahap internal industri perbankan tersebut.

"Kejahatan perbankan, semua pelakunya orang bank hampir tidak mungkin terjadi pembobolan bank kalau tidak ada bantuan orang dalam," kata Yenti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/5).

Meski begitu, lanjut Yenti, biasanya aktor intelektual dari kejahatan perbankan berasal dari pihak luar yang bekerjasama dengan orang dalam. Modus yang sering digunakan dalam kejahatan perbankan adalah pengucuran kredit yang fiktif, seperti nilai agunan yang jauh dari seharusnya serta banyaknya debitur bodong.

Untuk mengoptimalkan pengejaran aset dari kejahatan perbankan, lanjut Yenti, bisa diterapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pengenaan pasal ini berlaku bagi pelaku orang dalam perbankan dan pihak luar. Untuk pihak luar, bisa dikenakan dengan Pasal 55 KUHP atau turut serta.

"Untuk optimalkan pelaku kejahatan perbankan sertakan pasal pencucian uang," kata Yenti.

Selain itu, lanjut Yenti, pemerintah dan DPR harus segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. RUU ini penting untuk mengejar aset dari hasil kejahatan perbankan yang lari ke luar negeri. "Untuk optimalkan harus segera bahas dan sahkan UU Perampasan Aset, sehingga bisa telusuri aset hasil kejahatan yang lari ke luar negeri," katanya.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, Agung Setya, sepakat penerapan pasal TPPU ampuh dalam mengejar aset dari hasil kejahatan perbankan. Dari pengalamannya, pengejaran aset tanpa pasal TPPU bisa berlangsung lama dan diperoleh hasil yang tak maksimal.

"Pencucian uang punya manfaat besar bagi pengejaran aset," katanya.

Banyak modus dalam kejahatan perbankan. Selain karena diperintah orang lain, kejahatan perbankan bisa dilakukan karena inisiatif sendiri. Misalnya, Kepala Cabang sebuah bank memiliki target dana pihak ketiga dalam sebulan sebesar Rp10-Rp15 miliar. Atas dasar tekanan tersebut, kepala cabang mulai melakukan pelanggaran kewenangan.

"Ada temannya yang nakal, dimanfaatkan untuk ajukan kredit, ternyata fiktif. Ketika cair, masuk ke tabungan, tercapai target," tutur Agung.

Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Robertus Bilitea, mengatakan pembahasan RUU Perbankan oleh DPR dan pemerintah bisa menjadi momentum mengoptimalkan pengejaran aset hasil tindak kejahatan perbankan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan adanya audit forensik terhadap buku debitur yang berpotensi gagal bayar. Ini dilakukan lantaran mayoritas kejahatan perbankan bermula dari pengucuran kredit fiktif.

"Alangkah idealnya di-clusterin satu tindak kejahatan perbankan. Misal lakukan fungsi audit forensik terhadap buku dari debitur yang lakukan pinjaman, bisa ketahuan manipulasi penjualan," kata Robertus.

Ia meyakini, dengan cara ini pengajuan kredit dengan latar belakang cash flow yang bagus dapat ketahuan terdapat manipulasi yang dilakukan debitur tersebut. "Cash flow bagus sehingga layak dapat kredit, tapi jika ditelisik lebih jauh, ternyata ada angka penjualan yang digelembungkan," katanya.

Substansi ini, lanjut Robertus, bisa dimasukkan ke dalam revisi UU Perbankan. Ia meyakini, substansi ini dengan disertai sanksi tegas sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. "LPS berharap dapat optimalisasikan fungsinya untuk jadi detterence effect sehingga orang tidak lakukan kejahatan di sektor perbankan," tambahnya.

Selain fokus dalam mencegah dan menelisik dugaan kasus kejahatan perbankan, LPS juga bekerjasama dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dalam menuntaskan kasus tersebut. Bukan hanya itu, kerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta akuntan swasta juga menjadi cara penting dalam menginvestigasi kejahatan perbankan.

LPS juga memiliki kewenangan untuk melikuidasi industri perbankan yang sudah tak bisa lagi diselamatkan. Likuidasi ini dibuktikan dengan pembentukan tim likuidator yang berfungsi untuk mengukur aset industri yang akan dilikuidasi. Jika setelah dihitung terdapat kekurangan bayar oleh industri terhadap yang telah dikeluarkan oleh LPS, maka pihaknya bisa menggugat industri tersebut secara perdata.

Hal ini seperti yang dilakukan LPS terhadap mantan pemegang saham dan pengurus BPR Tripanca Setiadana. Namun, gugatan perdata ini baru bisa dilakukan setelah ada putusan inkracht jika terdapat tindak pidana yang dilakukan di lembaga peradilan. Gugatan perdata ini bertujuan untuk merecovery kerugian LPS atas selisih pembayaran klaim penjaminan dan dana talangan dari likuidasi yang dilakukan LPS.

"Gugatan terhadap Sugiarto alias Alay Cs (mantan pemegang saham dan pengurus BPR Tripanca Setiadana) di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung. Gugatan LPS telah dikabulkan di tingkat pengadilan negeri dan tergugat dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp312 miliar," tutup Robertus.
Tags:

Berita Terkait