Pendapat itu disampaikan Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH), Windu Wijaya, dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (26/5). Menurut Windu, hal itu disebabkan karena visi misi para capres baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK sangat standar dan tak ada terobosan baru yang menarik yang ditawarkan kepada pemilih.
Dia mengatakan, visi misi para capres dalam pemberantasan korupsi terlihat sangat menggantungkan nasib bangsa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi dengan menekankan ingin memperkuat lembaga KPK dan seolah-olah mengkerdilkan lembaga hukum lainnya.
“Jangan pernah bermimpi bangsa ini bebas dari prilaku koruptif hanya dengan berharap pada kinerja KPK,” ujar Windu.
Hal yang perlu disadari, kata Windu, koruptor ada di seluruh wilayah Indonesia, dari sabang sampai merauke, sementara KPK hanya ada di Kuningan, Jakarta. Ini berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan yang aparatur penegak hukumnya sudah menyebar di seluruh Indonesia dan lembaga ini adalah lembaga yang secara tegas dibentuk oleh konstitusi.
“Karena itu, seharusnya yang menjadi pemikiran hukum para capres adalah bagaimana mendorong agar kinerja kepolisian dan kejaksaan dapat bekerja secara professional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam pemberantasan korupsi seperti yang selama ini telah ditunjukan oleh KPK,” katanya.
Windu bependapat, yang harus diperkuat sesungguhnya adalah kepolisian dan kejaksaan agung, bukan KPK yang memang sudah kuat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka pemenang pilpres nanti harus dapat mentransfer seluruh kekuatan KPK menjadi kekuatan serupa di tubuh kepolisian dan kejaksaan agung.
Kekuatan yang harus ditransfer tersebut dengan cara mengalokasikan anggaran penyidikan perkara dan kesejahteran penyidik di kepolisian dan kejaksaan yang harus sama dengan anggaran yang diberikan kepada KPK.
Kemudian, meningkatkan sumber daya manusia ditubuh kepolisian dan kejaksaan, melakukan proses pemilihan pimpinan kepolisian dan kejaksaan agung dengan cara transparan dan melibatkan publik selayaknya pemilihan pimpinan KPK.
“Serta memberikan jaminan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk dapat bekerja secara leluasa, bebas dan bertanggungjawab tanpa adanya intervensi kekuasaan,” ujar Windu.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch menilai secara umum visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi-JK jauh lebih komprehensif dibandingkan Prabowo-Hatta dalam hal penegakan hukum dan kualitas pelayanan publik.
"Berkaitan dengan penegakan hukum dan kualitas layanan publik. Secara umum teman-teman sudah menyebutkan usulvisi-misi Jokowi-JK lebih kompreshensif daripada Prabowo-Hatta," kata Koordinator Badan Pekerja ICW,Ade Irawan.
Menurutnya, visi misi kedua pasangan capres dan cawapres hampir sama menyangkut pencegahan dan penindakan koruspi. Keduanya menyakan akan melakukan reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan mendorong pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Terkait KPK, Jokowi-JK lebih mengedepankan independesi KPK, sedangkan Prabowo-Hatta menitikberatkan penambahan personel penyidik dan penguatan tambahan termasuk para politisi yang berupaya mengurangi wewenang KPK.
"Jokowi-JK menuliskan soal korupsi politik. Korupsi di mana aktornya merupakan politisi baik di parlemen atau eksekutif, salah satunya pendanaan parpol. Jokowi-JK mengusulkan ada perubahan pendanaan partai politik karena faktor yang menyebabkan partai politik melakukan korupsi adalah besarnya ongkos politik," ujarnya.
Selain itu, Jokowi-JK mengusulkan ide bahwa pemilihan Kepala Polri dan Jaksa Agung akan didasarkan oleh kualitas dan integritas serta menguatkan fungsi koordinasi dan supervisi KPK, polisi dan jaksa.
Terkait layanan publik, Prabowo-Hatta mengusulkan tabungan haji Indonesia. Ini ide menarik karena sejak dulu masyarakat sipil sudah sering mengusulkan hal ini."Ini menarik karena banyak didorong civil society soal korupsi haji. Tapi teknis pelaksanaan tabungan haji ini dipertanyakan," pungkasnya.