Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri
Berita

Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri

Semua kewajiban yang diamanatkan KUHAP seharusnya dipenuhi aparat penegak hukum guna menghindari kesalahan pidana mati.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Salah satu aksi tolak hukuman mati di Jakarta. Foto: HOL
Salah satu aksi tolak hukuman mati di Jakarta. Foto: HOL
Memperingati gerakan melawan praktik hukuman mati internasional setiap 10 Oktober, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia menuntut Pemerintah sesuai kewenangannya berusaha menghentikan praktik eksekusi mati. Pengadilan seharusnya memastikan proses hukum yang adil berjalan dengan benar. Demikian pula kejaksaan selaku penuntut dan eksekutor.

Kepala Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, mengatakan moratorium terhadap hukuman mati sangat penting untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan. Ia menduga sebagian perkara hukuman mati tak diproses secara adil. Karena itu, aparat pemerintah dan penegak hukum seharusnya menjalankan moratorium hukuman mati.

Moratorium bisa dimulai dari Kejaksaan selaku penuntut umum. Jaksa harus mengecek ulang berkas yang dilimpahkan oleh kepolisian, khususnya untuk perkara yang tuntutannya hukuman mati. Perlu dipastikan semua bukti yang dikumpulkan kepolisian sesuai KUHAP seperti tanpa ancaman dan penyiksaan, serta keharusan tersangka didampingi penasihat hukum. Bahkan untuk terpidana mati warga negara asing, harus diberikan penerjemah yang sesuai.

(Baca juga: Advokat Gugat UU Bantuan Hukum).

Putri mencatat dalam kasus terpidana mati asal Brazil, Rodrigo Gularte, dia hanya mengerti bahasa Portugis, tapi penerjemah yang disediakan untuk bahasa Inggris. Menurutnya kewajiban-kewajiban yang diamanatkan KUHA untuk dipenuhi harus dijalankan aparat penegak hukum guna mengurangi kesalahan karena terjadi proses peradilan yang tidak adil.

Periode Januari-September 2017 KontraS mencatat dari 32 kasus pidana mati di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 28 terdakwa mendapat vonis mati di tingkat Pengadilan Negeri, dan 4 kasus pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berperan sebagai judex juris, meskipun dalam beberapa kasus pernah mengoreksi lamanya hukuman yang dijatuhkan judex facti.

Putri berpendapat banyaknya vonis mati yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri tak lepas dari tuntutan yang diajukan jaksa. Ia mengusulkan agar jaksa atau hakim mengecek ulang dan menelusuri apakah berkas perkara yang dilimpahkan kepolisian sudah melalui proses yang benar atau tidak.

“Kritik kami terhadap hukuman mati bukan saja kepada hakim yang memberikan vonis tapi juga jaksa karena dia yang melakukan penuntutan. Ini sebab kenapa banyak vonis mati dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, kejaksaan hanya mengikuti berkas dari kepolisian,” kata Putri dalam jumpa pers, Selasa (10/10).

(Baca juga: Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati).

Peneliti Amnesti Internasional Indonesia, Papang Hidayat, mengatakan adanya proses hukum yang tidak adil (unfair trial) dalam kasus hukuman mati sudah diakui Mahkamah Agung (MA) melalui putusan PK terhadap terpidana mati Yusman Telaumbanua. Putusan itu menganulir vonis mati Yusman menjadi 5 tahun pidana. Begitu pula dengan Kejaksaan, lebih selektif dalam melakukan eksekusi terpidana mati gelombang ketiga, dari 14 yang terdaftar hanya 4 terpidana mati yang dieksekusi. “Ini membuktikan pemerintah dan lembaga peradilan mengetahui ada masalah dalam proses peradilan yang dilalui terpidana mati,” urainya.

Selain itu menindaklanjuti pengaduan LBH Masyarakat terhadap perkara terpidana mati Humphrey Ejike Jefferson, Papang mengatakan Ombudsman RI menemukan maladministrasi dalam eksekusi terpidana mati gelombang 3. Komnas HAM juga menemukan terjadi banyak kasus unfair trial yang dialami terpidana mati seperti tidak didampingi penasihat hukum dan penerjemah yang mumpuni.

Praktik hukuman mati di Indonesia menurut Papang bertentangan dengan sikap pemerintah di ranah internasional. Misalnya, dalam universal periodic review (UPR) di Dewan HAM PBB beberapa waktu lalu pemerintah berjanji mempertimbangkan untuk mengkaji ulang penerapan hukuman mati agar tidak melanggar proses hukum yang adil (fair trial) serta moratorium. “Koalisi masyarakat sipil mengusulkan pemerintah mengevaluasi seluruh perkara narapidana yang masuk daftar eksekusi mati,” paparnya.

(Baca juga: Pemerintah Kaji Ulang 75 Rekomendasi Sidang UPR 2017).

Papang menjelaskan Amnesty Internasional sudah melakukan kampanye anti hukuman mati di tingkat global sejak 1977, saat itu ada 16 negara tidak menerapkan hukuman mati. Tahun ini ada 105 negara menghapus hukuman mati untuk semua jenis tindak kejahatan. Dalam 10 tahun terakhir 36 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. Sejak 2016 ada 23 negara yang menjalankan hukuman mati, dari jumlah itu 5 negara masih melakukan eksekusi terhadap terpidana mati.

Sebelumnya, Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menghitung sejak 1960 sampai sekarang terjadi 84 eksekusi terpidana mati dan sebanyak 45 eksekusi terjadi di era reformasi. Ada 350 vonis mati di masa reformasi yang dijatuhkan pada semua tingkat peradilan. Pada periode Oktober 2014-Oktober 2017 masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sebanyak 18 terpidana mati telah dieksekusi. Dalam 3 tahun terakhir, ada 136 vonis mati yang dijatuhkan pengadilan.

Peningkatan jumlah eksekusi dan vonis mati itu menurut Gufron terkait kebijakan ‘darurat narkoba’ yang digulirkan pemerintah. Padahal tidak ada bukti kuat dan objektif yang menunjukan eksekusi terpidana mati selama ini berkorelasi dengan naik atau turunnya tingkat kejahatan narkotika. Pasca eksekusi mati tahun 2015 BNN merilis pengguna narkotika malah meningkat. “Efek jera tidak timbul dari berat atau ringan sebuah hukuman, tapi penegakan hukum yang adil dan dapat menjangkau semua pelaku kejahatan,” tukasnya.

Gufron berpendapat hukuman mati melanggar hak hidup yang dijamin pasal 28l ayat (1) UUD RI 1945. Praktik hukuman mati berpotensi mengakibatkan terjadinya salah penghukuman karena proses penegakan hukum yang berjalan selama ini banyak mengalami persoalan seperti praktik mafia peradilan, kriminalisasi, korupsi, dan rekayasa kasus.

Imparsial menilai praktik hukuman mati tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan modern karena hukuman mati tidak fokus pada pengembalian hubungan pelaku, korban, dan masyarakat, tapi aspek pembalasan.

Selaras itu pemerintah mengakui pendekatan pidana tidak efektif memberantas kejahatan narkotika, oleh karenanya pendekatan bagi pecandu dan korban dilakukan melalui kesehatan serta rehabilitasi. Itu bisa dilihat dari SEMA No.4 Tahun 2010, SEMA No.3 Tahun 2011, dan Surat Edaran Jaksa Agung No.SE-002/A/JA/02/2013. Kemudian, Peraturan Bersama MA, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN pada tahun 2014.

Cuma, aparat penegak hukum diduga mengabaikan pendekatan tersebut karena yang diutamakan justru pendekatan pidana. “Padahal, penjara selama ini justru terbukti menjadi tempat di mana peredaran dan jaringan narkoba merajalela,” pungkas Gufron.
Tags:

Berita Terkait