Memahami Istilah Vonis Nihil dalam Perkara Pidana
Utama

Memahami Istilah Vonis Nihil dalam Perkara Pidana

Pasal 67 KUHP menjadi landasan hakim dalam memutus vonis nihil Heru Hidayat pada perkara Asabri. Sebab, Heru telah divonis pidana seumur hidup pada perkara Jiwasraya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Foto: RES
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Foto: RES

Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memutus vonis nihil pidana dan wajib membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dalam perkara korupsi PT Asabri dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Selasa (18/1). Salah satu alasan vonis nihil tersebut karena majelis hakim menganggap Heru telah mendapat hukuman pidana maksimal atau seumur hidup pada perkara korupsi Jiwasraya.

Meski menjatuhkan vonis nihil pidana, majelis hakim menyatakan Heru Hidayat bersalah. Heru terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Vonis nihil mendapat respons dari Kejaksaan Republik Indonesia yang merasa terdapat kekurangan dari putusan tersebut. ”Kejaksaan tetap menghargai dan menghormati apa yang sudah diputuskan oleh Majelis Hakim, namun Penuntut Umum merasa ada hal-hal yang kurang di mana ada keadilan masyarakat yang sedikit terusik bahwa Terdakwa diputus dan terbukti bersalah namun hukumannya adalah nol atau nihil,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam keterangan persnya. (Baca: Respons Penasehat Hukum Usai Vonis Nihil Pidana Heru Hidayat)

“Padahal kita memperhitungkannya bahwa perkara korupsi PT. Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp16 Triliun, Terdakwa dihukum seumur hidup, namun untuk Perkara Tindak Pidana Korupsi pada PT. ASABRI yang merugikan negara sebesar Rp22,78 Triliun dan Terdakwa terbukti bersalah, vonis hukuman nihil. Secara yuridis, kita mengerti tetapi rasa keadilan yang ada di masyarakat sedikit terusik dan yang kami lakukan adalah saya perintahkan JAM Pidsus dimana tidak ada kata lain selain “banding,” tegas Jaksa Agung.

Lantas bagaimana ketentuan vonis nihil dalam perundang-undangan? Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP menyatakan jika terdakwa telah divonis seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim. Pasal 67 KUHP tersebut yang menjadi landasan hakim dalam memutus vonis nihil Heru pada perkara Asabri. Sebab, Heru telah divonis pidana seumur hidup pada perkara Jiwasraya.

Selain itu, penerapan vonis nihil dilakukan pada pidana kumulatif dengan waktu tertentu untuk membatasi agar seseorang tidak dipidana melebihi batas waktu pemidanaan. Seperti dikutip dalam situs Pengadilan Negeri Ngabang, Kalimantan Barat berjudul “Kumulasi dalam Pemidanaan” dijelaskan bahwa dalam KUHP Pasal 12 Ayat 4 “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun”.  

Pidana waktu tertentu yang dimaksud dalam ayat tersebut jika merujuk pada ayat (1) di pasal yang sama, merujuk pada jenis pidana pokok berupa pidana penjara, di mana pidana penjara untuk waktu tertentu itu sendiri memiliki rentang waktu antara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun secara berturut turut. Ketentuan tersebut membatasi kemungkinan orang yang melakukan berbagai tindak pidana yang kemudian diadili baik dalam waktu bersamaan atau diadili secara tersendiri dengan jumlah melebihi 20 tahun penjara.

Meski demikian, penambahan masing-masing pemidanaan secara kumulatif dapat dimungkinkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 272, yang menyatakan “Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu”.

Ketentuan dalam KUHAP Pasal 272 tersebut berlaku dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dilakukan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan tindak pidana tersebut antara yang satu dengan yang lainnya tidak memiliki keterkaitan. Tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan tersebut disebut juga tindak pidana murni.

Dikatakan murni karena antara satu tindak pidana dengan tindak pidana yang lain, baik yang diadili pada Pengadilan Negeri yang sama atau yang berbeda sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 84, tidak memiliki keterkaitan khusus atau tidak mengandung unsur perbuatan berlanjut atau perbarengan, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 63 ayat (1) atau dikenal concursus idealis, KUHP Pasal 64 atau perbuatan berlanjut, serta KUHP Pasal 65, 66, dan 70 atau dikenal concursus realis.

Dengan demikian jika seseorang melakukan tindak pidana murni baik dalam satu wilayah atau beberapa wilayah hukum suatu pengadilan negeri, maka terhadap seluruh tindak pidana tersebut akan diadili. Pelaksanaan pemidanaannya akan mengacu ketentuan KUHAP 272 melalui sistem kumulasi atau dijumlahkan seluruh lamanya pemidanaan dengan batasan maksimal penjumlahan tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun penjara sebagaimana KUHP Pasal 12 ayat (4).

Dalam praktiknya pemidanaan terhadap terdakwa yang melakukan beberapa tindak pidana dapat dilakukan kumulasi, sehingga jumlah total keseluruhan terpidana menjalani masa hukuman penjaranya dapat melebihi batas ketentuan maksimal yaitu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun penjara. Contoh penerapan yang demikian dapat ditemukan dalam putusan-putusan perkara pidana atas nama Terdakwa Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang diadili dalam 3 sidang yang berbeda dan dalam 2 wilayah hukum pengadilan yang berbeda dengan putusan sebagai berikut:

1.       Perkara Pidana Nomor 65/Pid.B/2017/PN Krs tanggal 1 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 18 tahun;

2.       Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tanggal 24 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 3 tahun;

3.       Perkara Pidana Nomor 2471/Pid.B/2019/PN Sby tanggal 4 Maret 2020 telah dijatuhi pidana nihil;

Penjatuhan pemidanaan pada putusan ketiga berupa pidana nihil, dengan pertimbangan bahwa perbuatan tindak pidana yang telah diputus sebelumnya merupakan satu kesatuan rangkaian tindak pidana yang masih berhubungan dengan perkara pidana dalam persidangan yang ketiga tersebut.

Sehingga putusan pidana yang telah diterima jika dijumlah adalah 21 (dua puluh satu) tahun, maka putusan ketiga yang dijatuhkan adalah putusan nihil dengan dasar pertimbangan KUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1). Dengan demikian beberapa perbuatan pidana yang dilakukan tidak murni berdiri sendiri melainkan mengandung unsur perbarengan yang dalam hal ini adalah concursus realis. Sehingga dalam pengenaan pemidanaannya menggunakan ketentuan 65 atau 66 dengan ketentuan pidana maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang terberat ditambah sepertiga.                                                              

Meskipun setelah dilakukan pengecekan dalam situs putusan MA, Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tidaklah diputus selama 3 (tiga) tahun melainkan hanya selama 2 (dua) tahun. Dengan demikian total keseluruhan pemidanaan yang telah dijalani oleh terpidana tidak melebihi dan tepat selama 20 tahun penjara. Terlepas dari perbedaan total pemidanaan yang dijatuhkan pada putusan yang kedua dan ketiga tersebut, disini sudah terlihat adanya pengakuan penjatuhan maksimum pidana yang sepatutnya dijatuhkan kepada seseorang berdasarkanKUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1).

Tanggapan Terhadap Vonis Nihil Heru Hidayat

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman turut memberi respons terhadap putusan majelis hakim tersebut. Dia menyampaikan meski menghormati putusan tersebut dia merasa kecewa atas putusan pidana nihil Heru Hidayat dalam korupsi Asabri. Menurutnya, jika hakim tidak memberi hukuman mati sesuai tuntutan jaksa maka tetap memberi hukuman seumur hidup atau hukuman seumur hidup secara bersyarat.

“Yaitu jika hukuman penjara seumur hidup dalam perkara Jiwasraya bebas atau berkurang oleh upaya Peninjauan Kembali atau dapat Grasi maka hukuman seumur hidup dalam perkara Asabri akan tetap berlaku dan Heru Hidayat tetap menjalani penjara seumur hidup,” jelas Boyamin.

Menurutnya, berdasar Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika hakim menyatakan Terdakwa bersalah maka Terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Sehingga, dia menilai putusan hakim tidak boleh nihil karena hukuman sebelumnya dalam kasus Jiwasraya adalah seumur hidup dan bukan penjara dalam hitungan maksimal 20 tahun. “Hukuman nihil hanya berlaku di perkara penjara terhitung yaitu 1 hari hingga maksimal 20 tahun. Jika hukuman seumur hidup maka bisa dijatuhkan hukuman yang sama atau hukuman di atasnya yaitu mati,” jelas Boyamin.

Dia menyampaikan putusan tersebut menyatakan perbuatan Terdakwa Heru Hidayat terbukti, maka mestinya dipidana dan bukan nihil. “Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga MAKI meminta jaksa Kejagung harus melakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” ungkapnya.

Dia menyampaikan putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan masyarakat mengingat perbuatan Heru Hidayat sangat merugikan negara, masyarakat dan nasabah secara berulang pada Jiwasraya dan Asabri. Sehingga,  seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan mati oleh Jaksa Penuntut Umum, mestinya hukuman penjara seumur hidup secara bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara KUHAP karena tetap jatuhi hukuman pidana dan bukan nihil.

“Selanjutnya MAKI akan maju ke Mahkamah Konstitusi untuk memperluas makna "Pengulangan Dalam Melakukan Pidana " yang selama ini dimaknai terbatas setelah orang dipenjara kemudian  melakukan perbuatan pidana. Tidak disebut berulang jika belum pernah dipenjara meskipun berulang-ulang melakukan perbuatan pidana. Jika ini dikabulkan Mahkamah Konstitusi maka dalam kasus seperti Heru Hidayat nantinya dapat diterapkan hukuman mati,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait