Waspadai Ancaman PHK Akibat Kelesuan Ekonomi
Berita

Waspadai Ancaman PHK Akibat Kelesuan Ekonomi

Pelemahan nilai rupiah, perlambatan ekonomi dan minimnya kebijakan pemerintah untuk sektor riil bisa memicu PHK.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
 Presiden KSPI, Said Iqbal. Foto: www.kspi.or.id
Presiden KSPI, Said Iqbal. Foto: www.kspi.or.id
Sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) mendesak pemerintah menerbitkan kebijakan yang mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Ancaman PHK perlu diwaspadai.

Presiden KSPI, Said Iqbal, melihat pemerintah menganggap remeh situasi ekonomi yang melanda Indonesia saat ini. Padahal, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah dan terjadi perlambatan ekonomi. Ujungnya, buruh jadi korban karena hubungan kerjanya diputus. Perusahaan merasa kesulitan memproduksi karena harga bahan baku naik akibat menguatnya nilai dollar Amerika Serikat. Ia mencatat sebagian besar bahan baku yang digunakan berbagai industri di Indonesia seperti tekstil dan elektronik masih mengandalkan impor.

“Situasi ekonomi yang melanda Indonesia saat ini bukan saja menghantam industri padat karya tapi juga padat modal,” kata Iqbal dalam jumpa pers yang digelar GBI di Jakarta, Senin (31/8).

Mengutip data yang dilansir Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Iqbal menyebut jumlah pekerja yang mengalami PHK sekitar 60 ribu orang dan APINDO memperkirakan 50 ribu orang. Menurutnya, data itu hanya mencatat buruh yang di PHK karena perusahaannya tutup total. Jika ditambah pekerja yang di PHK karena perusahaan melakukan pengurangan jumlah pekerja jumlahnya bisa mencapai 100 ribuan orang.

Selain naiknya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, Iqbal juga melihat perlambatan ekonomi dunia juga berdampak ke Indonesia. Ia mengatakan industri elektronik di beberapa daerah seperti di Bekasi dan Pasuruan bukan saja menghadapi bahan baku yang mahal tapi juga produk-produk yang mereka hasilkan tidak bisa terserap pasar luar negeri karena perlambatan ekonomi dunia.

Jika pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang mampu memperbaiki keadaan, semakin banyak buruh yang berpotensi mengalami PHK. Untuk itu GBI mendesak pemerintah jangan terjebak pada retorika, tapi menerbitkan kebijakan kongkrit yang menyentuh sektor riil. Yakni kebijakan yang mendongkrak daya beli masyarakat terutama buruh, seperti kenaikan upah minimum yang tidak hanya mengacu pada inflasi. Kemudian subsidi pemerintah untuk rakyat miskin seperti bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah digulirkan pemerintahan SBY ketika menghadapi krisis ekonomi global 2008.

Selain itu industri juga perlu diberi banyak intensif oleh pemerintah. Bukan sekedar tax holiday untuk investasi baru, tapi juga perusahaan yang sudah berinvestasi lama di Indonesia. Bentuknya bisa berupa tarif listrik murah dan pemangkasan biaya logistik bagi perusahaan yang bisa menghindari PHK.

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini menurut Iqbal diperparah oleh kebijakan pemerintah yang mempermudah tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia. Itu ditandai dengan dihapusnya kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA sebagaimana Permenaker No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Itu mempermudah investasi asing yang masuk ke Indonesia sekaligus membawa TKA berketerampilan minim. Padahal, UU Ketenagakerjaan secara ketat membatasi TKA untuk masuk ke Indonesia, selain kewajiban berbahasa Indonesia, juga ada jenis jabatan yang dibatasi untuk TKA.

Sebagai upaya membenahi berbagai masalah tersebut, GBI akan menggelar demonstrasi serentak di 20 provinsi pada 1 September 2015. Diantaranya di Jakarta, Bandung, Serang, Surabaya, Semarang, Batam, Medan, Lampung dan Gorontalo. Istana Negara di Jakarta menjadi salah satu target sasaran massa aksi GBI yang jumlahnya diperkirakan mencapai 30 ribu orang.

Sekjen KSPI, Subianto, menegaskan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat harus segera diperbaiki. Jika itu tidak dilakukan segera maka industri yang ada di Indonesia terancam bangkrut karena bahan baku yang digunakan mayoritas impor. “Kalau tidak segera dibenahi maka buruh yang akan jadi korbannya karena langkah paling mudah yang dilakukan pengusaha yaitu efisiensi SDM,” ujarnya.

Subianto menuntut pemerintah merevisi Permenaker No.16 Tahun 2015 dan memperketat masuknya TKA ke Indonesia. Itu perlu dilakukan untuk menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 1 Desember 2015 agar tidak terjadi pengangguran yang masif di Indonesia karena serbuan TKA.
Tags:

Berita Terkait