Yati Andriyani: Nahkoda Perempuan Pertama di Markas KontraS
Srikandi Hukum 2018

Yati Andriyani: Nahkoda Perempuan Pertama di Markas KontraS

Serangan terhadap KontraS, pembunuhan Munir, kegigihan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menempa Yati untuk terus bersama KontraS.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Yati juga terharu saat hasil investigasi KontraS diterima Jaksa Agung sehingga menunda rencana eksekusi terhadapa terpidana mati, Ruben Pata Sambo. Hasil investigasi KontraS menunjukkan proses hukum dan penanganan kasus Ruben berjalan tidak adil. Yati melakukan investigasi itu tidak mudah karena para saksi hanya mau diwawancara pada saat malam, mereka menilai siang hari tidak aman. Dengan mengendarai sepeda motor di malam hari, Yati menyambangi satu per satu saksi yang ada di wilayah Toraja.

 

Harapan Yati, Indonesia harus berani menyelesaikan beban masa lalunya. Politik impunitas harus dihentikan. Dunia hukum sekaligus peradaban sebagai bangsa tidak akan pernah maju dan naik kelas selama kita hidup memanggul beban tersebut. Penuntasan kasus pelanggaran HAM itu perlu dilakukan agar Negara bisa memastikan para pembunuh, penculik, dan pelanggar HAM tidak mengulangi kejahatannya di masa depan.

 

“Hukum harus ditegakan di atas kepentingan politik apapun, bukan sebaliknya kepentingan politik yang menyetir hukum. HAM bukan barang diplomasi, teoritik dan mekanisme semata, HAM adalah keseharian yang melekat pada hak warga negara, yang harus diwujudkan dengan standar yang jelas,” papar yati.

 

Hukumonline.com

 

Bermula dari Rasa Tidak Percaya Hukum

Yati yang menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) ini pada awalnya tidak percaya terhadap instrumen hukum. Menurutnya praktik hukum yang berjalan saat ini belum mampu memberikan keadilan. Bahkan banyak kasus yang melibatkan aparat hukum. Di lingkaran keluarga inti Yati kebetulan juga tidak ada yang berdarah hukum.

 

Hal yang mendorong Yati untuk terjun di dunia hukum lebih kepada rasa empati dan kemanusiaan. Kemudian ditambah situasi yang berkembang tahun 1997-1998 membuat Yati semakin ingin berbuat sesuatu bagi korban pelanggaran HAM, tentunya memperjuangkan keadilan. “Awalnya saya tidak mau mengikuti PKPA, tapi KontraS menjadikan itu sebagai syarat agar bisa mendampingi korban di pengadilan,” ujarnya.

 

Menurut Yati penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak bisa mengandalkan instrumen hukum. Lebih dari itu, pendekatan hukum yang dilakukan harus dibarengi oleh pendekatan politik. Yati yakin jika sekadar mengggunakan instrumen hukum yang ada saat ini kasus pelanggaran HAM tidak akan tuntas. Bagi Yati hal paling penting dalam melakoni hidup sebagai aktivis HAM yakni dukungan dari keluarga. Yati mengaku beruntung karena punya pasangan hidup yang sangat mendukung kegiatannya. Orang tua pun mengerti atas pilihan yang diambil Yati dalam berkarir.

 

Bahkan Yati menyesal karena kesibukannya sebagai aktivis tidak sempat menemani ayahnya yang sakit dan kemudian wafat. Saat itu Yati menjalankan tugas ke luar negeri. Kesempatan terakhir Yati untuk mengantar ayahanda ke peristirahatan terakhir harus pupus karena tidak memungkinkan bagi dirinya ketika itu untuk kembali ke Indonesia. “Ayah saya adalah salah satu orang yang paling mendukung pilihan-pilihan saya,” tukas perempuan yang pernah mondok di pesantren di Sukabumi itu.

Tags:

Berita Terkait