YLKI Sarankan Kominfo Lakukan Pengecekan Sebelum Beri Label Suatu Informasi
Terbaru

YLKI Sarankan Kominfo Lakukan Pengecekan Sebelum Beri Label Suatu Informasi

YLKI mendukung langkah Kominfo mencabut label ‘disinformasi’ atas informasi terkait bahaya BPA.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberi informasi yang benar dan jujur, BPOM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” demikian kata Kepala BPOM, Penny K. Lukito, seperti tertulis dalam rilis resmi di situs web BPOM.

BPOM menempuh cara yang lebih moderat. Menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA hanya mengatur kewajiban pencantuman tulisan cara penyimpanan, seperti “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” serta pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik keras (polikarbonat).

Selain itu, peraturan itu mengecualikan produk-produk AMDK yang, dari hasil analisisnya, mampu membuktikan bahwa migrasi BPA-nya berada di bawah 0,01 bpj. Dengan demikian, menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA sama sekali tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

BPOM semata-mata bertujuan melindungi kesehatan masyarakat dari potensi paparan zat berbahaya dan kepentingan pelaku usaha dari tuntutan hukum di kemudian hari. Jika ditetapkan, regulasi ini juga hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang.

Sementara itu epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mempertanyakan kalangan industri yang merespons berlebihan rencana pelabelan risiko BPA pada AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) atau galon guna ulang Badan POM. Ia mengatakan, melalui regulasi tersebut BPOM justru sedang mengedukasi masyarakat terkait dampak BPA terhadap kesehatan.

"Kenapa industri minuman kemasan enggak mau regulasi label tersebut. Alasannya apa? Kan yang sedang dilakukan BPOM agar ada label setiap wadah plastik seperti galon tulisan apakah dibuat dengan menggunakan BPA atau tidak," katanya.

Menurutnya, kewajiban labelisasi tersebut perlu lebih cepat dilaksanakan. Pasalnya, kekhawatiran terhadap dampak BPA tidak hanya ada di Indonesia namun juga sudah ada di negara-negara maju. Sejauh ini, ia menilai apa yang dilakukan BPOM konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur.

Tags:

Berita Terkait