Yusril Ihza Mahendra Persoalkan Kedudukan 'Ketetapan MPR'
Terbaru

Yusril Ihza Mahendra Persoalkan Kedudukan 'Ketetapan MPR'

Menurut Yusril, penjelasan pasal itu sebenarnya hanyalah menjelaskan kalimat atau istilah, tetapi penjelasan menurut undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu tidak boleh mengandung norma.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Sebelumnya, dalam permohonannya, pemohon mendalilkan dengan amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.

Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya paham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966.

Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967.

Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan.

Ketetapan itu dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Soeharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional.

Pemohon menyebut MPR bukanlah lembaga yang berwenang merumuskan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kewenangan menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah kewenangan Presiden dan DPR dengan menetapkannya dalam undang-undang berdasarkan norma Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.

Undang-undang yang dibentuk berdasarkan norma pasal inilah yang mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, bukan Ketetapan MPR atau bahkan dalam memorandum DPR-GR seperti terjadi di awal Pemerintahan Orde Baru. Kemudian, pertentangan antara norma dalam Pasal dengan Penjelasan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Di kalangan anggota MPR sendiri sampai hari ini timbul keragu-raguan apakah dengan perubahan status dan kedudukan MPR akibat amendemen UUD 1945 menyebabkan MPR kehilangan kewenangannya untuk membuat Ketetapan-Ketetapan yang bercorak pengaturan di samping kewenangannya untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, maka penjelasan atas norma Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait