Perpu No. 1/2004: Jebakan Perusahaan Tambang Asing terhadap Indonesia
Nur Hidayati(*)

Perpu No. 1/2004: Jebakan Perusahaan Tambang Asing terhadap Indonesia

Pada tanggal 11 Maret 2004 yang lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 tahun 2004 tentang Kehutanan yang dimaksudkan sebagai ‘jawaban' atas permasalahan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

Bacaan 2 Menit
Perpu No. 1/2004: Jebakan Perusahaan Tambang Asing terhadap Indonesia
Hukumonline

 

Dikeluarkannya Perpu ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mengerti substansi permasalahan yang diperdebatkan selama ini, yaitu mengenai larangan beroperasinya pertambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung.

 

Secara substansi, Perpu tersebut tidak mengubah kondisi yang ada saat ini. Sebab, sesuai dengan Tap MPR RI No. III/2000 pasal 4, sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-udangan yang ada maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. Oleh karenanya ketentuan pasal 38 UU No.41/1999 masih berlaku.

 

Disamping itu Perpu tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pertambangan terbuka di hutan lindung diizinkan, sehingga bagi para pelaku pertambangan yang ingin melakukan operasi pertambangan secara terbuka di hutan lindung hal tersebut tetap merupakan tindakan yang ilegal dan melanggar hukum. Alih-alih memberikan solusi bagi kepastian hukum yang diharapkan oleh investor, Perpu ini justru menunjukkan inkonsistensi pemerintah di dalam menerapkan peraturan perundangan dan menegakkan hukum.

 

Dari segi proses dan materinya, Perpu ini pun tidak layak. Beberapa hal yang menjadi dasar ketidaklayakan Perpu ini adalah mengenai proses dan materinya.

 

      Dari segi proses, Pemerintahan Megawati telah melanggar ketentuan Konstitusi yaitu Pasal 22 Undang-undang Dasar 1945 dan mengabaikan mandat Ketetapan MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tata Cara Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan.

 

Dalam proses penetapan Perpu No.1/2004 ini pemerintahan Megawati telah mengeluarkan Perpu tanpa memberikan alasan jelas dan mensosialisasikan lebih dulu alasan tersebut kepada masyarakat. Selain itu, persetujuan dari DPR dikesampingkan dan secara gamblang telah memotong proses pembahasan materi yang sedang dilakukan oleh DPR RI berkaitan dengan obyek materi yang diatur.

 

Kemudian secara materi, isi Perpu tersebut secara prinsip justru bertentangan dengan kondisi darurat yang terjadi dalam hal kondisi hutan yang sudah kritis, dan bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu tersebut secara langsung, seolah-olah telah memberikan justifikasi bagi beroperasinya 150 perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.

 

Salah satu hal yang melatarbelakangi alasan ‘kondisi darurat' yang dikemukakan oleh pemerintah adalah adanya ancaman tuntutan arbitrase internasional oleh para operator tambang asing yang telah berinvestasi di Indonesia berdasarkan kontrak karya. Pemerintah takut atas ancaman untuk mengganti kerugian atas investasi operator tambang asing yang ‘digagalkan' akibat adanya aturan pelarangan menambang secara terbuka di hutan lindung. Namun sebenarnya ketakutan tersebut sangat tidak beralasan bila diperhatikan penjelasan berikut ini.

 

Berdasarkan analisa dari berbagai dokumen yang terkait degan investasi pertambangan serta perjanjian-perjanjian internasional, maka terdapat tiga instrumen legal memberikan hak terbatas kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada pemerintah Indonesia. Ketiganya adalah (i) klausa arbitrase yang terdapat dalam kontrak-kontrak karya mereka (KK); (ii) pasal 21-22 UU No.5/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA); dan (iii) pasal-pasal arbitrase yang terkandung dalam BITs (Bilateral Investment Treaties) dan/atau MITs (Multilateral Investment Treaties) yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dengan negara ‘asal' masing-masing operator pertambangan asing.

 

Namun demikian, operator pertambangan asing tidak dapat melakukan tuntutan berdasarkan ketiga argumen di atas dikarenakan beberapa hal. Pertama, untuk klausul arbitrase dalam kontrak karya, operator tambang asing tidak dapat menggugat berdasarkan klausa arbitrase di KK. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap pasal-pasal yang ada di dalam kontrak karya yang bersangkutan, yang mana hal ini tidak terjadi. 

 

Selain itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat klausul yang persis atau pun yang serupa dengan pernyataan di bawah ini yang ditujukan kepada operator pertambangan: Operasi-operasi (yang dilakukan oleh operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan mengenai perlindungan lingkungan hidup.

 

Klausul ini diterima oleh operator pertambangan asing dimana mereka diharuskan untuk berkewajiban secara terus menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup yang berlaku dari waktu ke waktu selama masa berlakunya kontrak karya.

 

Kedua, Pasal 21-22 UUPMA memang memberikan hak kepada investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia untuk menempuh jalur arbitrase terhadap. Namun demikian, hak ini dibatasi hanya untuk menentukan batas kompensasi yang wajar yang diakibatkan oleh nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing. Jadi, pasal tersebut hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan menjadikannya milik negara.

 

Dilakukannya penyesuaian operasi perusahaan terhadap aturan lingkungan-–sebagaimana yang diamantkan oleh pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan—tidak termasuk kategori  nasionalisasi atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing, bahkan untuk penafsiran yang paling bebas sekalipun. Operator pertambangan asing masih tetap memiliki hak kepemilikan yang sama atas operasinya, baik sebelum atau sesudah diberlakukannya peraturan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada dasar argumen yang kuat bagi operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase internasional berdasarkan Pasal 21-22 UU PMA.

 

Ketiga, semua BIT dan MIT dimana Indonesia menjadi pihaknya, menjamin agar pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang setara dengan, berbobot sama dengan, atau memberikan dampak yang sama dengan penghilangan hak. Operator tambang asing tidak akan berhasil dalam klaim yang didasarkan pada BIT atau MIT yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung, karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.

 

Dalam banyak kasus, hak-hak operator tambang asing untuk melaksanakan operasinya akan selalu dikenakan aturan-aturan lingkungan dan sosial yang sah yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia demi kepentingan publik. Pelarangan penambangan terbuka --yang akan menyebabkan pencemaran air-- di hutan lindung (fungsi hidrologis) sangat sesuai dengan kategori ‘pemberlakuan aturan lingkungan hidup yang sah demi kepentingan publik'.

 

Bahkan jika aturan umum ini tidak berlaku, operator tambang asing tetap tidak dapat   mengklaim bahwa mereka memiliki hak yang telah terkena efek negatif oleh pemerintah     Indonesia (apalagi mengklaim bahwa mereka telah dihilangkan haknya secara tidak langsung), ketika pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka terbuka di hutan lindung.

 

Sebagaimana telah dibahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat pasal-pasal yang mengharuskan operator tambang asing untuk menyesuaikan operasi           tambangnya degan semua hukum dan peraturan perundangan lingkungan hidup yang berlaku selama periode operasi mereka. Hal ini berarti KK secara eksplisit memberikan hak kepada operator tambang asing untuk menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan      peraturan perundangan lingkungan hidup.

 

Oleh karenanya, ketika DPR memberlakukan pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Kehutanan, DPR tidak mengurangi ataupun menghilangkan hak-hak yang telah diberikan kepada operator tambang asing berdasarkan KK mereka.

 

Berbeda dengan yang dituduhkan, operator tambang asing masih memiliki hak-hak yang tepat           sama dengan hak-hak yang mereka miliki sebelum diberlakukannya UU tersebut: yaitu hak untuk menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan lingkungan hidup, dalam hal ini Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan.

 

Operator tambang asing juga tidak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa pemerintah        Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan yang sama dan setara, karena pelarangan tersebut berada dalam lingkup wewenang pemerintah Indonesia, dan hal tersebut dilakukan demi kepentingan publik yang sah, dan tidak mendiskriminasi atau     secara tidak adil telah merugikan operator tambang asing.

 

Dikeluarkannya Perpu No.1/2004 yang akan ditindalanjuti dengan Kepres yang memberi izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung, justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah. Sebab, karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang yang lain (secara keseluruhuan terdapat 158 perusahaan yang menuntut dibolehkannya penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan, padahal mereka memiliki kesamaan kondisi dan metodologi dalam melakukan pertambangan.

 

Dikeluarkannya Perpu No.1/2004, diakui atau tidak, oleh Pemerintah Indonesia adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh oleh pemerintah mereka. Ditinjau dari sisi kepatutan, jelas hal ini sangat tidak patut, dimana suatu bangsa yang berdaulat mau begitu saja tunduk pada ancaman entitas asing yang berusaha ikut campur dan mempengaruhi urusan domestik suatu negara. Apalagi, hal ini adalah menyangkut kebijakan yang berpengaruh pada hajat hidup orang banyak.

 

Pemerintah Indonesia seharusnya tidak membiarkan ketidakpatutan operator tambang asing mempengaruhi kebijakan domestik dari pemerintah Indonesia melalui ancaman-ancaman arbitrase. Padahal sebenarnya mereka tidak memiliki peluang untuk mengajukan dan oleh karenanya sebenarnya mereka tidak berniat untuk melakukannya. DPR menanggung kewenangan atas kedaulatan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan yang sulit atas suatu hal yang sangat penting yang terkait langsung dengan kesehatan hutan dan sungai serta kemaslahatan hidup anak dan cucunya (generasi yang akan datang).

 

Sebagai bagian dari anggota masyarakat Indonesia, operator tambang asing diharuskan untuk menerima keputusan tersebut atau pun menyalurkan keberatannya melalui saluran-saluran resmi pemerintahan. Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja melakukan ancaman untuk membangkrutkan pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.

 

Fakta bahwa operator tambang asing tidak memulai mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka di hutan lindung tersebut diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak memiliki peluang untuk berhasil di arbitrase, sebagaimana dijelaskan di atas.

 

Jika operator-operator dari tambang tersebut percaya bahwa mereka dapat berhasil mendapatkan kompensasi atas kehilangan potensi keuntungan melaui gugatan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia, maka sangatlah logis bila mereka sudah melakukannya sebagai kewajiban terhadap para pemegang saham. Nyatanya, mereka belum juga melaksanakan hal tersebut, dan tidak akan pernah melakukannya di masa yang akan datang. Pasalnya, mereka sangat mengetahui bahwa mereka tidak akan berhasil, kecuali dengan dikeluarkannya Kepres yang membolehkan 13 perusahaan tambang untuk beroperasi, maka peluang arbitrase dapat  mereka ajukan.

 

Pemilu baru saja usai. Seharusnya momentum ini bisa menjadi masa untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mementingkan kepentingan publik dan rakyatnya, dan memiliki harga diri untuk bisa mengajak seluruh rakyat bangkit, bukannya pemimpin yang takut pada ancaman operator tambang asing dan bersedia menginjak rakyat sendiri demi mengutamakan kepentingan segelintir perusahaan tersebut.

 

Substansi tulisan pernah disampaikan pada sebuah diskusi di Fakultas Kehutanan IPB, 15 April 2004 

Perpu ini dikeluarkan di tengah proses konsultasi yang masih berjalan antara pemerintah (yang dipimpin oleh Menko Perekonomian) dan Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi III dan Komisi VIII.  Dikeluarkannya Perpu ini secara terang-terangan melecehkan proses yang sedang berlangsung dimana pemerintah dengan sengaja mem-by pass proses konsultasi antara eksekutif dan legislatif.

 

Perpu tersebut menambah ketentuan baru pada UU 41/1999 tentang Kehutanan, yaitu pasal 83 (a) dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) berbunyi: Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Sementara pasal 83 (b) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan selanjutnya akan diatur dalam Keputusan Presiden.

 

Sebagaimana diketahui, sekitar 150 perusahaan pertambangan menuntut pemerintah agar membolehkan operasi pertambangan di hutan lindung. UU No.41/1999 secara eksplisit melarang dilakukannnya pertambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung (pasal 38).

 

Pemerintah berusaha memanfaatkan celah hukum dalam UU No.41/1999, yaitu melalui upaya pengalihfungsian kawasan hutan lindung yang dimungkinkan pada pasal 19, dimana upaya tersebut membutuhkan persetujuan DPR. Namun belum lagi mekanisme perundangan tersebut dilaksanakan, pemerintah dengan sewenang-wenang mengeluarkan Perpu yang jelas-jelas mengabaikan proses yang sedang berlangsung di DPR.

 

Di tengah kondisi kritis kehutanan Indonesia yang sudah lazim diketahui mengalami deforestasi lebih dari 3,5 juta hektar per tahunnya, keputusan Presiden Megawati ini merupakan keputusan yang sangat tidak populer dan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap permasalahan lingkungan hidup.

Tags: