Penggunaan Sistem Peradilan Koneksitas Dipermasalahkan
Berita

Penggunaan Sistem Peradilan Koneksitas Dipermasalahkan

Adanya satu dua orang pelaku tindak pidana yang berasal dari kalangan TNI bukan alasan yang cukup untuk membawa sebuah perkara ke dalam sistem peradilan koneksitas. Sistem itu pun sudah tidak sejalan dengan pemisahan TNI dan Polri.

Mys
Bacaan 2 Menit
Penggunaan Sistem Peradilan Koneksitas Dipermasalahkan
Hukumonline

 

Dalam perkara yang sudah diputuskan oleh PN Jakarta, terbukti dua petinggi militer (Kol. Purn Budi Purnama dan Kapten Inf Suharto) divonis bebas. Satu-satunya yang dinyatakan bersalah adalah Jonathan Marpaung. Itu pun hanya dengan hukuman 2 bulan 10 hari.

 

Jika untuk kasus-kasus 27 Juli yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung kelak  menggunakan model koneksitas, masalah lain juga akan muncul. Apalagi sebagian terdakwa militer hampir pasti mempunyai pangkat yang lebih tinggi dari hakim koneksitas. Dari tiga hakim koneksitas—Ny Rukmini dan M. Daming Sanusi--, hakim dari Mahkamah Militer Soeharyono, hanya berpangkat Kolonel.

 

Hal itu memang tidak jadi masalah karena terdakwa Budi Purnama pun hanya seorang purnawirawan kolonel. Tapi bagaimana dengan Sutiyoso, misalnya, yang seorang purnawirawan jenderal bintang tiga? Apakah hakim yang hanya berpangkat kolonel bisa menyelidiki lebih jauh mengenai keterlibatan seorang jenderal yang mungkin pernah jadi atasan sang hakim?

 

Toh, bukan berarti kasus 27 Juli tidak perlu diteruskan. Dalam pandangan ELSAM, berkas perkara ini harus secepatnya diproses ke pengadilan. Untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi dan kebijakan apa yang diambil dalam kasus 27 Juli 1996 itu, tandas Ifdhal.

 

RUU Peradilan Militer

Pandangan Daniel Panjaitan yang mempersoalkan sistem koneksitas dalam peradilan Indonesia memang bukan sesuatu tidak tersentuh. Sebab, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Peradilan Militer yang disusun Badan Legislasi DPR sudah menghapuskan hukum acara peradilan koneksitas.

 

Penghapusan hukum acara koneksitas itu bukan tanpa pijakan. Para pengusul RUU beragumen bahwa pengadilan militer harus disesuaikan dengan pengalaman praktek. Yang mengalami perubahan antara lain bahwa pengadilan militer dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana militer yang dilakukan seorang prajurit atau seseorang yang menurut Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit.

 

Namun, berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh militer dan sipil, maka harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini sesuai dengan perubahan rumusan pasal, bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer hanya berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit.

 

RUU ini memang dipersiapkan untuk menggantikan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang dianggap perlu direvisi, terutama sejak ada pemisahan TNI dan Polri (TAP MPR No. VI dan No. VII Tahun 2000).

Demikian pandangan yang dikemukakan Koordinator Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Daniel Panjaitan dalam sebuah diskusi mengenai kasus 27 Juli di Jakarta, Rabu (23/06) lalu. Kalau kebetulan pelaku dari kalangan militer, tapi seluruh korbannya adalah sipil, maka tidak cukup alasan membawa perkara itu ke pengadilan koneksitas.

 

Menurut Daniel, dulunya peradilan koneksitas diperlukan karena ada kekhawatiran jika perkara yang menyangkut militer dibawa ke peradilan sipil, bisa membuka rahasia negara. Jadi, alasannya demi keamanan negara.

 

Namun kini, khususnya dalam konteks kasus 27 Juli, penggunaan sistem peradilan koneksitas patut dipertanyakan. Direktur Eksekutif ELSAM Ifdhal Kasim menduga bahwa kasus penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta itu masuk ke peradilan koneksitas atas dasar keputusan politis di Komisi II DPR. Apalagi kebanyakan anggota DPR berasal dari kalangan PDI Perjuangan, dimana orang-orangnya menjadi korban dalam kasus tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: