Mediasi (Bukan) Basa-Basi
Fokus

Mediasi (Bukan) Basa-Basi

Belum genap setahun pelaksanaan mediasi di pengadilan, berbagai cerita mengemuka. Banyak keluhan, namun terselip pula kisah sukses.

Nay
Bacaan 2 Menit
Mediasi (Bukan) Basa-Basi
Hukumonline

"Tapi, apa kongkritnya untuk damai, dia tidak memberi tawaran alternatif apapun. Ia tidak berusaha untuk merumuskan titik temu," ujar Taufik. Di benak Taufik, mediator seharusnya proaktif menggali titik temu antara kedua belah pihak. Kenyataannya, di kasus yang ia alami, mediator juga terlihat tidak mendalami pokok permasalahan. 

Seperti bisa diduga, proses mediasi di kasus tersebut mengalami jalan buntu. "Padahal, sebetulnya kita sudah siap dengan jawaban kalau ditanya kemungkinan titik temunya dimana. Tapi dia (hakim) tidak bertanya. Kalau kita yang mengajukan kan tidak mungkin, karena kita juga harus berstrategi. Kita menunggu, tapi (tawaran) nggak muncul-muncul," tutur Taufik. Akhirnya, perkara itu pun terpaksa masuk ke meja hijau.

Lain lagi yang dialami Wahyu, pengacara di kantor hukum Karim Sani. Ketika Wahyu meminta agar dilakukan mediasi terhadap kasus yang dialami kliennya, hakim PN Tangerang malah menolak. Hakim beralasan, proses mediasi hanyalah berdasarkan Perma yang merupakan penjabaran pasal 130 HIR. Karena itu, tidak perlu terlalu diikuti.

Memang, saat Wahyu mendampingi kliennya di PN Tangerang, persidangan sudah berjalan dua kaliNamun dalam sidang pertama, menurut pengakuan kliennya, hakim tidak menawarkan untuk mediasi. Karena kliennya ingin berdamai, maka dalam persidangan kedua, Wahyu meminta agar dilakukan mediasi. Tapi, lagi-lagi permintaan tersebut ditolak. Selain alasan dasar hukum mediasi hanya Perma seperti disebut diatas, hakim PN Tangerang juga berdalih, gugatan sudah dibacakan. Saat ini, kata Wahyu, meski persidangan perkara itu tetap berlangsung, para pihak tetap melakukan perundingan sendiri di luar sidang.

Keseragaman pemahaman

Hal yang hampir sama juga dialami Wahyu di PN Bengkalis. Saat itu, beberapa tergugat, termasuk klien Wahyu, setuju untuk dilakukan proses mediasi. Tapi, pihak penggugat menolak untuk mediasi. Karena penggugat bersikeras menolak, hakim mediator langsung menyatakan mediasi gagal dan persidangan langsung dilanjutkan.

Hal itu jelas bertentangan dengan aturan Perma yang menyatakan bahwa proses mediasi berlangsung selama 22 hari kerja, baik ada kesepakatan maupun tidak.

Di kasus lain, ada pula yang mempersoalkan mengenai jangka waktu proses mediasi pengadilan. Aturan bahwa mediasi harus berlangsung selama 22 hari ini sempat memicu protes dalam sidang gugatan class action Gerakan Rakyat untuk Indonesia Baru (GRIB) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kuasa hukum GRIB, JJ Amstrong, menolak waktu mediasi yang berlangsung selama 22 hari. Pasalnya, yang mereka minta dalam gugatan adalah pembatalan pemilihan presiden pada 5 Juli 2004. Kalau persidangan tetap melewati proses mediasi, artinya kalaupun gugatan mereka dikabulkan, Pemilu Presiden telah berlangsung.

Apalagi, penggugat sudah yakin bahwa mereka tidak akan mau berdamai, sehingga tidak perlu lagi waktu yang lama untuk mediasi. Namun, majelis bersikeras mengikuti aturan Perma sehingga sidang ditunda selama dua puluh dua hari.

Panji Prasetyo, pengacara dari kantor Adnan Buyung Nasution, juga punya kisah tersendiri mengenai mediasi. Ia menilai belum ada keseragaman pemahaman tentang pelaksanaan Perma di kalangan hakim. Ketika Panji bersidang di PN Jakarta Utara misalnya. Saat itu, yang menjadi mediator adalah hakim majelis yang memeriksa perkara tersebut. "Itu kan tidak sesuai dengan isi Perma. Kalau hakimnya juga anggota majelis, bagaimana ia bisa lepas dari prejudice," ujar Panji. 

Yang lebih gawat lagi, kata Panji, salah seorang koleganya gagal menyelesaikan perkara dengan proses mediasi karena hakim yang menjadi mediator selalu tidak hadir dalam proses mediasi. Padahal, para pihak selalu hadir dalam proses tersebut. "Jadi boro-boro mengharap hakim mau aktif, datang saja tidak mau," cetusnya.

Sejauh ini, berdasarkan pengamatan Panji, mediator telah cukup netral dalam memberikan ruang untuk berbicara pada para pihak. Namun menurutnya, hakim tetap terkesan tidak aktif mencari alternatif penyelesaian. "Seharusnya bukan cuma sekedar netral, tapi harus aktif, imbuhnya.

Panji menilai, saat ini hakim hanya sekedar menjalankan tugas sebagai mediator, namun tetap dengan perspektif seorang hakim, bukan mediator.

Di PN Jakpus, melalui penetapan ketua PN tanggal 17 Desember 2003,  terdapat tujuh orang hakim yang ditetapkan sebagai mediator. Tujuh mediator tersebut adalah: Abdullah, Binsar Siregar, Dwiarso Budi, Hamdi, Mulyani, Saparuddin Hasibuan dan Sugito.

Namun, Dwiarso dan Saparuddin telah dipromosikan ke tempat lain. Sehingga, di PN Jakarta Pusat sekarang tinggal tersisa lima orang mediator. Para hakim yang juga merangkap sebagai mediator ini, sebelumnya telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh MA bekerja sama dengan Pusat Mediasi Nasional selama dua pekan.

AS$ 37 juta

Untunglah, di tengah berbagai keluhan terhadap pelaksanaan mediasi seperti disebut di atas, ada juga cerita sukses pelaksanaan mediasi di pengadilan. Hamdi, hakim yang menjadi mediator di PN Jakpus, berhasil mendamaikan kasus senilai puluhan juta dolar yang melibatkan pihak asing.

Ini adalah perkara dengan nilai paling besar yang sukses didamaikan Hamdi lewat jalur mediasi. Perkaranya sendiri adalah  mengenai perjanjian sindikasi pembiayaan sewa guna usaha antara PT. Petrowidada dengan PT. Perjal Leasing Indonesia senilai AS $37.600.000. Perkara ini melibatkan pihak Jepang dan Korea Selatan. Menurut penuturan Hamdi, para pihak dari Jepang dan Korea Selatan hadir di PN Jakpus untuk menandatangani akte perdamaian tersebut.

Hamdi  ternyata punya kiat-kiat khusus mediasi bisa berjalan sukses. Menurutnya, prinsip dasar mediasi adalah semua pihak yang terlibat harus ikhlas mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Itu berlaku baik pada kuasa hukum para pihak maupun hakim mediator.

"Saya sebagai hakim dengan tugas pokok saya di pengadilan, saya berusaha menyisihkan waktu di acara yang  padat ini untuk meladeni pihak yang menghadap saya untuk mediasi," ujar Hamdi. Di PN Jakpus, menurut Hamdi, agenda persidangan sangat padat karena banyaknya perkara yang masuk. Sebagai contoh, dalam mediasi kasus Petrowidada, Hamdi mengakui menghabiskan waktu 16 jam. "Kadang-kadang sehari dua jam, kadang-kadang empat jam, kadang setengah jam kalau tidak produktif," imbuhnya.

Sepanjang ingatannya, Hamdi telah berhasil mendamaikan lima perkara melalui jalur mediasi. Sayangnya, Hamdi baru mencatat perkara yang berhasil didamaikannya setelah mendapat teguran dari Ketua PN Jakpus. Tadinya, ia tidak pernah mencatatkan perkara yang berhasil didamaikan lewat mediasi. Hamdi berdalih tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut.

Data yang diperoleh hukumonline dari bagian perdata PN Jakpus, sampai dengan Juni 2004, hanya empat perkara yang berhasil didamaikan melalui mediasi.

Perkara yang bisa diselesaikan melalui mediasi  sampai Juni 2004 

No

     Perkara

Ketua Majelis

Mediator

Tanggal Selesai

1.

475/Pdt-G/2003

Andriani Nurdin

Dwiarso Budi

17-3-2004

2.

478/Pdt-G/2003

Hamdi

Sugito

13-03-2004

3.

539/Pdt-G/2003

Herry Swantoro

Hamdi

10-06-2004

4.

069/Pdt-G/2004

Mulyani

Sugito

25-05-2004

Sumber : Kepaniteraan PN Jakarta Pusat

Mediasi tertutup

Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, Hamdi menerapkan suatu sistem mediasi yang menurutnya efektif, produktif, dan tidak menimbulkan gesekan baru, yaitu sistem mediasi tertutup. Dalam sistem tertutup ini, apa yang diinginkan oleh para pihak tidak dibuka pada awal mediasi.

Pada awal mediasi, yang ia sebut pra mediasi, Hamdi meminta pada para pihak untuk membuat proposal mengenai bentuk perdamaian seperti apa yang mereka inginkan. Pada pertemuan berikutnya, proposal itu diserahkan pada Hamdi tanpa isinya diketahui oleh pihak lainnya.

Oleh Hamdi, proposal itu kemudian dijadikan awal untuk melangkah lebih jauh. "Saya selaku mediator akan melangkah dari proposal mereka, bukan dari gugatan, sebab prinsip mediasi berbeda dengan persidangan. Persidangan membicarakan masa lalu, mediasi membicarakan masa yang akan datang," tutur hakim yang dalam sebuah putusannya menyatakan kasus pembakaran lahan sebagai sebuah kejahatan perusahaan (corporate crime).

"Kalau bisa bertemu, dalam satu rel tapi lain gerbong, saya akan memacu pertemuan itu ke arah satu titik temu yang bisa disepakati oleh masing-masing pihak. Sebab kita ini mediator bukan pemutus apalagi mengarahkan," cetusnya.

Jika ternyata kedua pihak berada dalam dua rel yang berlainan gerbong, maka Hamdi akan menggunakan pertemuan kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh para pihak lainnya.

Dalam kaukus itu, Hamdi akan mencoba menjembatani keinginan para pihak. Proposal bisa berubah sampai dua tiga kali. Hamdi akan membuka proposal para pihak bila ia melihat perbedaan di antara keinginan dua pihak sudah tidak terlalu besar lagi.

Umpamanya, bila dalam proposal awal tergugat mengatakan sanggup membayar 40 persen dari utang, dan penggugat menyatakan akan memberi kemudahan membayar  70 persen, maka jika tiba pada satu angka yang memungkinkan terjadinya  kesepakatan, Hamdi akan mulai membuka proposal yang diajukan masing-masing pihak.

Disamping yang telah dipaparkan diatas, rupanya Hamdi masih punya kiat lain. Hamdi akan mengatakan kepada pihak asing, bahwa berdasarkan pengalamannya sebagai hakim, proses hukum tidak akan selesai dalam satu tahun bahkan mungkin tiga atau lima tahun. "Mungkin dengan cara begitu mereka akan tergugah, yang minta tinggi jadi turun. Kan lebih baik kehilangan uang sedikit tapi bisa kembali dalam waktu singkat," ucapnya.

Meski berhasil mendamaikan perkara senilai puluhan juta dolar, Hamdi ternyata belum pernah sukses mendamaikan pasangan yang akan bercerai melalui jalur mediasiNamun, di sisi lain Hamdi merasa bersyukur. Pasalnya, walau gagal mengurungkan niat pasangan yang akan bercerai, , ia kerap berhasil "membujuk" para pihak biasanya untuk bersepakat tentang hak perwalian anak atau pembagian harta.

Dalam mediasi perkara perceraian, Hamdi juga punya kiat khusus. Ia selalu meminta bertemu langsung dengan para pihak dan tidak mau hanya diwakili dengan pengacaranya saja. 

Dimintai komentarnya seputar pelaksaan mediasi, Ketua MA, Bagir Manan menyatakan  belum melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan mediasi di pengadilan. Menurut Bagir, mediasi adalah hal yang baru sehingga masih perlu waktu. Namun para hakim, akan terus menerus diberi pelatihan tentang mediasi

"Kita tunjuk 4 (pengadilan) percontohan, sekarang sedang berjalan. Kita tugasi IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation, red) yang meneliti dan menyelenggarakan  pendidikan dan juga PPH (Pusat Pengkajian Hukum, red)". "Ini hal baru, biarlah berjalan, tapi kalau orang sudah tahu manfatnya akan lebih suka kesana daripada berpanjang-panjang". 

Mendamaikan dua pihak yang sudah maju ke meja hijau, jelas bukan perkara mudah. Tiap mediator boleh saja memiliki kiat yang berbeda. Tapi, yang jelas, peran  mediator harus dijalankan secara profesional, bukan sekedar formalitas sebelum maju ke persidangan.    

Sejak Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ditetapkan pada 11 September 2003, semua perkara perdata di pengadilan negeri diwajibkan untuk menjalani proses mediasi sebelum disidangkan. Diharapkan, dengan melalui proses mediasi terlebih dahulu, pihak yang bersengketa dapat mengupayakan jalan damai terlebih dahulu. Kalau mediasi berhasil, otomatis perkara yang masuk ke pengadilan jumlahnya akan berkurang.

Namun, dalam waktu pelaksanaan yang baru seumur jagung ini, mulai terdengar  keluhan terhadap proses mediasi di pengadilan itu. Kemampuan dan peranan hakim sebagai mediator menjadi satu hal yang paling banyak dikeluhkan. Sejauh ini, yang dapat menjadi mediator di pengadilan adalah seorang hakim.

Pengalaman Taufik Basari misalnya. Pengacara publik di LBH Jakarta ini pernah menjalani  proses mediasi untuk menyelesaikan kasus malpraktek yang menimpa kliennya di PN Jakarta Pusat (PN Jakpus). Taufik dan kliennya berharap dengan menempuh proses mediasi, sengketa bisa diselesaikan tanpa harus melalui persidangan di pengadilan. Apalagi, saat itu pihak yang digugat Taufik pun telah setuju untuk berunding.

Namun, proses mediasi yang berjalan ternyata jauh dari harapan. Taufik mengisahkan, hakim yang bertindak sebagai mediator, tidak berusaha mencari titik temu atau memberikan alternatif-alternatif penyelesaian. Taufik mengisahkan, selama proses berlangsung, sang hakim hanya berbicara ngalor-ngidul sambil sesekali mengisap rokok. Satu-satunya "kegiatan mediasi" yang ia lakukan hanya berulang kali mendesak para pihak: "Sudah pak, damai saja,".

Tags: