Menyoroti Sisi Gelap Child Trafficking di Indramayu
Fokus

Menyoroti Sisi Gelap Child Trafficking di Indramayu

Child trafficking atau perdagangan anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak. Perangkat dan aparat hukum yang ada belum mampu memberantas kejahatan terorganisir tersebut.

Gie
Bacaan 2 Menit
Menyoroti Sisi Gelap <i>Child Trafficking</i> di Indramayu
Hukumonline
Indramayu, kabupaten yang terletak di pesisir pantai utara Laut Jawa merupakan potret nyata dari maraknya perdagangan seks komersial yang secara sistematis melibatkan anak-anak sebagai korban. Dalam sebuah perjalanan bersama tim International Labour Organization (ILO) selama dua hari pekan lalu, berkesempatan menelusuri daerah yang sering disebut-sebut sebagai sentra perdagangan anak.

Solehat menuturkan, teman-teman sebayanya sudah banyak yang ‘sukses' menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di Jakarta. Cerita-cerita tentang kehidupan mewah dan menjanjikan, kerap dikatakan teman-temannya yang pulang dari Jakarta. Solehat menggambarkan, banyak anak-anak di desanya yang berasal dari keluarga tidak mampu karena umumnya orangtua mereka hanya bekerja sebagai buruh tani ataupun TKW. Oleh sebab itu, mereka sering tergiur bila diiming-imingi pekerjaan dan penghasilan yang besar.

Lain halnya dengan Iis, ketika ditawari pekerjaan sebagai entertainer oleh pamannya, ia langsung tertarik. Iis berniat membantu ayahnya yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan ibunya yang bekerja sebagai TKW. Jadi, Iis tidak menampik tawaran tersebut.

Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Iis sadar banyak teman sebayanya yang malah terjerumus menjadi PSK lantaran bekerja di kota besar. Namun  tidak pernah terlintas dalam benaknya ketika ia datang ke kawasan Duren Sawit, Jakarta, gadis yang kini tengah melanjutkan sekolahnya di Indramayu, diharuskan berpose dengan pakaian minim dan latihan menari ala striptease. Beruntung, Iis masih bisa melarikan diri.

Solehat dan Iis hanyalah contoh kecil untuk menggambarkan persoalan child trafficking di Indramayu. Kendatipun demikian, belum banyak pihak yang berinisiatif untuk mengatasi masalah jual-menjual anak ini. Padahal, masyarakat di sekitar dua desa tersebut sudah sadar betul dan mengetahui tentang adanya ‘proyek' perdagangan anak yang terorganisir.  Sudah banyak pihak yang tahu betul kalau di desa-desa di Indramayu marak terjadi trafficking, ujar Andri Yoga Utami dari YKAI.

Namun, untuk memberantasnya ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ironisnya lagi, tak jarang orangtua dari anak-anak yang diperdagangkan tersebut, malah mendorong buah hatinya melakukan pekerjaan seks komersil. Uang selalu dijadikan faktor utama.

Anto Ikayadi, salah satu pekerja sosial untuk membantu pencegahan perdagangan anak ini mengakui, masyarakat di desa Jambak dan Amis justru berlomba-lomba untuk membangun rumah mewah dan harta yang berlimpah.

Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya di daerah ini, ujar Anto. Padahal uang tersebut disinyalir diperoleh dari anak-anak mereka, yang harus mencari nafkah sebagai PSK.

Selain persoalan materi, berdasarkan pengamatan hukumonline, gaya hidup yang cenderung ‘metropolis' juga dengan mudah ditemui di pelosok Indramayu. Ketika hukumonline menjelajahi pelosok Indramayu bersama tim ILO, di pelosok-pelosok desa masih saja bisa ditemui diskotik maupun cafe. Dan jangan heran, sepanjang jalan-jalan sepi di sekitar sawah, banyak dijumpai pemandangan pasangan muda-mudi yang tengah bercengkrama di sepeda motor. Tak ubahnya kehidupan metropolis.

Meski sering dianggap lumrah, ternyata tidak semua masyarakat sekitar menganggap masalah perdagangan anak menjadi bagian dari budaya masyarakat Indramayu. Berdasatkan data-data investigasi yang dikumpulkan pekerja-pekerja sosial dari YKAI dan ILO, dikatakan memang ada pro dan kontra tentang perdagangan anak ini.  

Berdasarkan survei dan temuan-temuan YKAI dan ILO di lapangan, pemerintah daerah, bupati, dan guru merupakan elemen-elemen yang secara tegas menentang child trafficking ini. Sedangkan kepala desa setempat, orangtua maupun kepolisian, justru disinyalir memberi jalan mulus bagi praktek child trafficking ini.

Masyarakat di sekitar desa Jambak dan Amis bisa jadi sudah mengetahui siapa yang menjadi ‘penyalur' di sekitar wilayah mereka. Toh, dua orang berinisial W yang disinyalir menjadi ‘penyalur' tetap bisa melenggang bebas. Kedua orang itu memang sempat didatangi aparat keamanan setempat. Namun mereka didatangi bukan untuk dimintai pertanggungjawaban atau ditangkap atas perbuatannya, melainkan dimintai upeti untuk ‘uang tutup mulut'.

Melihat maraknya perdagangan anak ini—khususnya di daerah Indramayu--, Andri Yoga Utami yang beberapa tahun terakhir aktif mensosialisasikan pencegahan perdagangan anak, menggarisbawahi pentingnya menempatkan anak sebagai korban bukan sebagai pelaku.

Berdasarkan penelusuran latar belakang dan pengalaman-pengalaman anak-anak di desa setempat, jelas harus dibedakan antara pelaku dengan korban. Dalam hal ini, Andri menegaskan bahwa dalam persoalan child trafficking, anak tidak bisa ditempatkan sebagai pelaku, melainkan korban.

UU No.23/2002 yang lahir sejak Oktober 2002 lalu secara jelas telah menjabarkan konsep tentang hak-hak anak, termasuk memberikan perlindungan bagi anak. Menurut Andri, pada persoalan child trafficking kesalahan bukan pada anak. Sebab, ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No.23/2002 secara jelas menyebutkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari orangtua dan negara. Oleh sebab itu, dalam proses perdagangan ini, orangtua maupun orang-orang dewasa di tempat korban tinggal dianggap gagal dalam memberi perlindungan untuk si anak.

Sulitnya mengimplementasikan UU

Perdagangan anak untuk eksploitasi seks komersial ternyata tidak hanya merambah daerah Indramayu semata. Survei ILO menunjukkan sejumlah tempat di Indonesia seperti Garut, Kuningan, Jepara, Pekalongan, Situbondo, Banyuwangi, Medan, Lampung, Pontianak dan Singkawang, tercatat sebagai daerah yang marak terjadinya perdagangan anak untuk eksploitasi seks.

Untuk itu, implementasi UU No.23/2002 sangat diharapkan dapat menanggulangi masalah perdagangan anak ini. UU tersebut sebenarnya secara jelas telah menjabarkan pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku perdagangan anak untuk ekploitasi seks komersial.

Beberapa pasal dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah memberi perlindungan bagi child trafficking. Namun penerapannya inilah yang sangat sulit dilakukan ujar Andri. Pasal 82 dan 83 UU No.23/2002 secara jelas telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp. 300 juta rupiah sebagai bentuk hukuman maksimal bagi pelaku perdagangan anak, khususnya untuk eksploitasi seks.

Selain itu beberapa pasal lain yang juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab bagi pemerintah, lembaga negara dan masyarakat untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual sudah tercantum secara jelas dalam uraian Pasal 59, 66, 68 UUNo.23/2002.

Apalagi Pandji menambahkan, UU No.23/2002 yang dibuat sebagai perlindungan hukum bagi anak, telah mengadopsi beberapa Konvensi ILO. Misalnya tentang batas minimum usia yang diperbolehkan bekerja dan penghapusan mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dengan telah diadopsinya konvensi-konvensi tersebut UU ini (UU Perlindungan Anak,red) cukup baik, namun yang sulit ya implementasinya, ujar Pandji. 

Sejumlah kasus di Indramayu merupakan contoh betapa sulitnya menghapus perdagangan anak khususnya untuk ekploitasi seksual. Padahal, menurut Pandji perangkat hukum untuk menjerat pelaku sudah siap.

Namun, untuk menjerat pelaku perdagangan anak ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah ada konspirasi tingkat tinggi yang sulit untuk menjerat pelaku, tambah Andri.

Ia menambahkan, dalam perdagangan anak untuk eksploitasi seks ini tentunya melibatkan banyak pihak, bukan hanya penyalur semata. Pengusaha dari daerah-daerah dimana korban bekerja, seharusnya juga digiring untuk bertanggungjawab dalam kasus perdagangan anak ini.

Selain itu, ada cara-cara lain dari pelaku perdagangan anak untuk menghindari jeratan aparat yang berwajib. Menurut Pandji, orang-orang yang ditangkap polisi dengan dugaan melakukan perdagangan anak untuk eksploitasi seks sering berdalih. Ketika diminta keterangan, mereka beralasan anak-anak korban akan dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ujar Pandji. Akibatnya, pelaku-pelaku perdagangan anak pun lolos dengan mudah.

Pandji sendiri mengakui, untuk menjerat pelaku perdagangan anak harus ada kerjasama antara masyarakat, korban maupun pihak kepolisian. Itu juga bukan perkara yang mudah. Berkaca dari contoh dua desa di Indramayu di atas, dapat dikatakan masyarakat sekitar sudah mengetahui siapa-siapa dalang yang bermain dalam perdagangan anak di desa tersebut. Namun, hingga saat ini tidak ada pihak yang berani bertindak.

Menurut Anto, beberapa faktor menjadi penyebab sulitnya menggiring dan menangkap pelaku perdagangan anak di di desa-desa KabupatenIndramayu. Sebagian masyarakat masih menerima masalah perdagangan anak dengan reaksi yang biasa-biasa saja, tukas Anto. Jadi, tidak ada laporan masyarakat yang resmi kepada Kepolisian setempat. Inilah yang membuat pelaku perdagangan makin sulit lagi untuk dikriminalisasikan. Akankah kita menutup mata dan menyerah bila kejadian yang menimpa Solehat dan Iis terus terulang?

hukumonline

Di kota lumbung beras itu, anak-anak perempuan berusia mulai dari 13 sampai 18 tahun menjadi sasaran utama para penyalur perdagangan seks tersebut. Lihat saja yang terjadi di desa Amis dan Jambak, dua desa di kabupaten Indramayu dimana perdagangan anak untuk eksploitasi seks marak dilakukan. Perdagangan anak di dua desa ini bisa disebut sudah membudaya dan menjadi hal yang sangat umum.

Tingkat trafficking di Indramayu sangat tinggi dan memperihatinkan, ujar Pandji Putranto, Senior Programme Officer ILO untuk Penanggulangan Penghapusan Pekerjaan Terburuk Anak.

Maraknya perdagangan anak di kabupaten yang memiliki luas 204.011 hektar itu adalah suatu ironi, mengingat Indonesia telah memiliki Undang-Undang No.23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002). Betapa tidak, UU No.23/2002 telah secara tegas melarang perbuatan child trafficking.

Iming-iming uang dan kekayaan

Iming-iming uang kerap menjadi ‘pemikat' yang belakangan justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam. Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan ILO tahun 2003-2004, anak-anak yang dieksploitasi sebagai pekerja seks umumnya ditawarkan upah 5 juta rupiah sebulan. Simaklah penuturan Solehat dan Iis, dua remaja Indramayu yang tergoda rayuan uang.

Tags: