Konsultan HKI, Penting Nggak Sih?
Resensi

Konsultan HKI, Penting Nggak Sih?

Gagasan untuk membangun ‘rumah' bagi konsultan HKI dimunculkan. Siapa sebenarnya yang berwenang membuat kode etik untuk suatu profesi?

Mys
Bacaan 2 Menit
Konsultan HKI, Penting Nggak Sih?
Hukumonline

 

 

MEMBANGUN

PROFESI KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

LANGKAH MENUJU PROFESIONALISME

DAN KEMANDIRIAN PROFESI

 

Penulis: Ari Juliano Gema

Penerbit: Hukumonline.com dan Assegaf Hamzah & Partners

Terbit : Agustus 2006

Halaman: 152, termasuk lampiran

 

 

 

Peraturan ini sudah meletakkan dasar-dasar bagi segenap anggota Konsultan HKI untuk membangun rumah bersama. Ada hak, ada kewajiban, sistem evaluasi, dan kemungkinan mengeluarkan anggota yang nakal dari rumah bersama tersebut. Yang lebih penting sekarang adalah menyamakan persepsi, langkah dan tekad segenap Konsultan HKI untuk tinggal di rumah bersama. Rumah itulah yang kelak menjadi organisasi profesi bagi Konsultan HKI.

 

Bagi penulis, rumah bersama sebagai organisasi profesi itu sangat penting diwujudkan. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan. Pertama, jika para Konsultan HKI bersatu dalam suatu wadah, posisi tawarnya lebih kuat dalam pengambilan kebijakan di bidang hak kekayaan intelektual. Kedua, bersatunya Konsultan akan memudahkan mereka mengelola dan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Ketiga, organisasi yang solid yang didukung kode etik yang konsisten akan memberikan pedoman bagi siapapun untuk menilai kapabilitas dan profesionalisme Konsultan HKI (hal. 27-28).

 

Atas dasar ketiga argumen di atas, penulis mencoba merancang sebuah organisasi profesi yang ideal. Termasuk fungsi, alat-alat kelengkapan, dan kode etik. Disinilah penulis terjebak pada idealisme profesi. Bagi penulis, keberadaan organisasi bisa difungsikan sebagai wadah mensosialisasikan pemahaman masyarakat terhadap HKI. Masyarakat berposisi sebagai objek. Sebaliknya, organisasi itu harus difungsikan untuk melindungi  serta memperjuangkan kepentingan profesi Konsultan HKI (hal. 29). Seolah-olah melindungi anggota Konsultan HKI jauh lebih penting daripada memperjuangkan hak-hak masyarakat di bidang kekayaan intelektual.

 

Penulis memang berangkat dari suatu pandangan bahwa Konsultan HKI adalah 'mitra kerja' bagi Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Atas dasar itu pula, penulis mengkritik aturan dalam PP No. 2 Tahun 2005 yang mewajibkan Konsultan HKI mengajukan minimal 10 permohonan di bidang hak kekayaan intelektual setiap tahun. Kewajiban ini adalah dalam konteks evaluasi kinerja Konsultan oleh Ditjen HKI. Penulis juga mengkritik belum lengkapnya aturan main jika para Konsultan ribut di dalam rumah bersama tersebut. Apakah seseorang yang sudah dikeluarkan lewat jendela, masih bisa masuk melalui pintu? 

 

Inilah yang menjadi pekerjaan bersama bagi Konsultan HKI. Penulis yakin bahwa pekerjaan itu bisa  diselesaikan jika mereka mau hidup bersama di dalam rumah besar. Sekaranglah saatnya karena Konsultan HKI tidak mungkin menunggu godot turun dari langit.

 

Bila belum terlalu paham dasar-dasar Konsultan HKI penulis melampirkan PP No. 2 Tahun 2005 dalam buku bersampul putih ini. Bahkan dilengkapi pula daftar Konsultan HKI angkatan pertama yang berjumlah 255 orang. Bagaimana dengan Anda? Siapa tahu Anda pun ternyata setuju dengan gagasan penulis....

 

 

Pertanyaan semacam ini pernah menyeruak di celah perseteruan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Untuk mengawasi prilaku hakim dibuutuhkan ukuran-ukuran atau parameter yang jelas. Kode etik hakim merupakan salah satu parameter yang pas. Tetapi, siapa yang akan membuat kode etik itu? Hakim sendiri atau lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi?

 

Bisa jadi, pertanyaan sejenis bisa diajukan untuk profesi-profesi lain seperti akuntan, notaris, advokat, dan –seperti digagas dalam buku ini – konsultan hak kekayaan intelektual (HKI).

 

Buku ini hadir dengan satu misi: mengagas pentingnya para konsultan HKI membangun rumah bersama yang ideal. Rekomendasinya tegas, yakni mempersiapkan pembentukan organisasi profesi Konsultan HKI (hal. 57).

 

Profesi lain umumnya memang sudah memiliki rumah yang diidam-idamkan. Advokat punya PERADI dan akuntan bernaung di bawah IAI. Demikian pula notaris. Lalu, kemana Konsultan HKI? Inilah yang ingin coba dipaparkan penulis melalui sejumlah argumen.

 

Konsultan HKI sudah lama punya tiang pancang untuk berdiri. Sekitar lima belas tahun lalu, Pemerintah sudah mengakui Konsultan HKI lewat PP No. 33 Tahun 1991. Revisi perundang-undangan hak kekayaan intelektual juga turut mempengaruhi payung hukum buat Konsultan. Terakhir, keberadaan Konsultan HKI dikukuhkan lewat Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2005.

Tags: