Ditolak Jadi PNS, Penyandang Cacat Tempuh Upaya Hukum
Utama

Ditolak Jadi PNS, Penyandang Cacat Tempuh Upaya Hukum

Meskipun lulus cum laude, Pemkot Surabaya tak mau meluluskan Wuri sebagai CPNS karena yang bersangkutan cacat fisik. MA menyetujui perkara Wuri dijadikan prioritas.

Aru
Bacaan 2 Menit
Ditolak Jadi PNS, Penyandang Cacat Tempuh Upaya Hukum
Hukumonline

 

Judicial Review

Selain itu, Wuri juga berencana mengajukan uji materiil (judicial review) beberapa Undang-Undang yang isinya diskriminatif. Diskriminatif itu menurut Wuri dapat dilihat dari Pasal dari UU yang mensyaratkan sehat jasmani dan rohani.

 

Syarat atau kriteria sehat jasmani dan rohani ini yang dipermasalahkan Wuri. Menurutnya, kriteria ini yang sering dipersepsikan secara keluru dan diskriminatif oleh banyak kalangan. Alasan judicial review yang bakal dilakukannya karena Konstitusi tidak mengenal sehat jasmani atau rohani. Soal ini, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 Amandemen Ketiga yang mengatur syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni frasa Mampu secara rohani dan jasmani..

 

Paling tidak, ada dua UU yang menurut Wuri paling kelihatan diskriminatifnya. Pertama, Pasal 9 UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan dan Pasal 12 UU 8/1974 tentang Kepegawaian sebagaimana diubah dengan UU 43/1999.

 

Sementara, R. Herlambang Perdana, pengajar Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga menilai penolakan terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes, khususnya tes CPNS adalah sesuatu yang melanggar HAM terkait dengan hak mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut, menurut Herlambang, selain melanggar konstitusi juga melanggar dua konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

 

Dua konvensi itu adalah International Covenant On Economics, Social and Cultural Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya-UU 11/2005) dan International Covenant On Civil and Political Rights (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik-UU 12/2005).

 

Soal kriteria sehat jasmani dan rohani dalam kasus Wuri, Herlambang berpendapat penilaian Pemkot tidak tepat. Pasalnya, penilaian tidak berdasar pada kualitas tapi hanya melihat Wuri tidak mampu dengan penilaian disable. Nah ini adalah bentuk asumsi yang tidak mempunyai dasar hukum. Selain menyalahi kewajiban konstitusional negara juga melawan HAM, tukas Herlambang.

Wuri Handayani, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Tahun 1998 dengan predikat cum laude ini terhitung sudah dua tahun memperjuangkan haknya sebagai warga Negara. Hak yang dperjuangkan Wuri adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan. Ya, dua tahun yang lalu, 2004, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menolak Wuri untuk ikut tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan alasan Wuri cacat.

 

Betul, Wuri, mengalami cacat dari pinggang ke bawah setelah mengalami kecelakaan saat pendakian di Gunung Cartenz, Jaya Wijaya tahun 1993. Tidak terima atas penolakan itu Wuri berkirim surat ke Pemkot untuk meminta penjelasan. Dalam surat balasannya, Pemkot yang diwakili Eko Yuniharso Arief, Kepala Bagian Kepegawaian Kota Surabaya menyatakan bahwa Pemkot menjabarkan ketentuan sehat jasmani dan rohani adalah tidak cacat fisik maupun mental. Dasar pertimbangannya adalah mobilitas.

 

Tidak terima dengan penjelasan tersebut, Wuri mengambil langkah hukum. Pebruari 2005, Wuri menggugat Pemkot Surabaya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya, PTUN memenangkan Wuri dan mengabulkan dua tuntutan Wuri. Yaitu, Pertama, membatalkan Surat Keputusan yang menolak dirinya untuk mendaftar. Kedua, memberikan kesempatan kepada Wuri untuk mengikuti tes CPNS.

 

Usai putusan, Pemkot mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN. Hasilnya sama, PTTUN dalam putusannya, Oktober 2005 menguatkan putusan PTUN. Masih tidak terima, Pemkot mengajukan kasasi. Saat perkaranya diajukan ke MA, Wuri kemudian meminta kepada MA agar perkaranya diprioritaskan. Dikabulkan, lewat surat yang ditandatangani Panitera MA, Satri Rusad tertanggal 17 Mei 2006, Ketua MA Bagir Manan menyetujuinya. Karena itulah saya meminta agar kasus ini dikawal oleh semua pihak, pinta Wuri dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (4/10).

 

Menarik untuk mengetahui apa latar belakang Wuri yang tanpa mengenal kata menyerah terus memperjuankan haknya. Menurut perempuan yang pernah menjadi staf Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dirinya tidak hanya memperjuangkan kepentingan pribadinya, namun kepentingan penyandang cacat di seluruh Indonesia yang jumlahnya jika diukur dari angkatan kerja cukup banyak. Bahkan kasus penolakan seperti dirinya juga terjadi dibeberapa Kota di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: