RUU Pengendalian Dampak Tembakau: Antara Cukai, Investasi dan Kesehatan
Fokus

RUU Pengendalian Dampak Tembakau: Antara Cukai, Investasi dan Kesehatan

Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau tidak hanya membatasi ruang perokok, melainkan juga menaikan cukai rokok. Gagasan untuk membuat aturan pengendalian rokok sudah lama digulirkan.

Oleh:
M-3
Bacaan 2 Menit
RUU Pengendalian Dampak Tembakau: Antara Cukai, Investasi dan Kesehatan
Hukumonline

 

Mengambil contoh bayi kembar dempet di RSCM, biaya untuk memisahkannya jauh lebih tinggi dari pada cukai yang dibayarkan oleh ibu bapak si kembar yang merupakan first hand smoker. Hakim menuduh pelaku usaha rokok mengambil keuntungan dari sifat adiktif rokok terhadap masyarakat yang tidak tahu dan tidak berdaya. Dalam pandangannya, industri rokok tidak akan bangkrut dan menyebabkan pengangguran besar-besaran dengan pembatasan ini. Berdasarkan pengamatannya, sejak terakhir cukai rokok dinaikan, pekerja tembakau justru naik sejalan dengan kenaikan konsumen.

 

Hal ini disebabkan karena telah berakarnya rokok sebagai gaya hidup atau ‘norma sosial'. Fakta ini merupakan jaminan industri rokok tidak akan bangkrut karena hanya karena kenaikan cukai dan pembatasan dampak tembakau. Sehingga, RUU Pengendalian Dampak Tembakau diancer-ancer berisi pembatasan terhadap produksi dan penjualan, pengemasan dan pelabelan, harga dan cukai, kawasan tanpa rokok, pelarangan total terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor.

 

Tapi Direktur Blora Institute Taufik Rahzen memperingatkan akan adanya kendala pemberlakuan RUU tersebut. Taufik mengkhawatirkan cepat atau lambat, RUU pada akhirnya harus berhadapan dengan tradisi dan terpaksa menegosiasikan kembali pemberlakuan RUU tersebut. Pemerintah juga disinyalir tidak akan berdaya menghadapi keresahan sosial yang dapat muncul tak terduga. Karena itu pemberlakuan secara gradual berserta adanya penyelesaian yang komprehensif sangat penting. Perlu menarik tumbukan lokal antara pro-rokok dan anti-rokok ke dimensi baru dan pembentukan etik baru, simpul Taufik.

 

Pendapat Taufik juga disetujui oleh Prof Eko Prasojo. Pemberlakuan yang gradual komprehensif harus diinisiasikan oleh pemerintah, tambahnya.

 

 

Sebagai bentuk dukungan, pemerintah juga wajib menyedikan infrastruktur yang memadai. Prof Eko juga menambahkan suara masyarakat harus didengar tanpa melupakan suara pengusaha tembakau karena mereka semua adalah pembayar pajak. Jadi RUU ini, jika disahkan kelak akan menjadi pengejawantahan pasal 1 ayat (3) dan 28 H UUD45 yang merupakan jaminan konstitusional untuk orang yang tidak merokok.

 

Sebenarnya, Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara hanya mengatur satu pasal mengenai kawasan dilarang merokok. Satu pasal itupun mengadopsi dari Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 yang secara keseluruhan  mengatur hal-hal seperti persyaratan penerapan peringatan kesehatan pada setiap kemasan dan setiap bentuk iklan, pembatasan jam tayang pada media elektronik, persyaratan tentang materi iklan, persyaratan pencantuman tar dan nikotin pada setiap kemasan, dan penentuan kawasan tanpa rokok.

 

Tapi penegakan hukumnya sulit sekali, keluh anggota DPRD DKI Jakarta, H. Mukhayar RM yang juga hadir sebagai pembicara. Tadinya alasan perda tersebut diterbitkan adalah untuk mengurangi pencemaran udara DKI Jakarta yang telah menembus tiga besar kota yang paling tercemar udaranya setelah Mexico City dan Bangkok. Tapi perda tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Perda Dilarang Merokok dan mempelopori perda-perda sejenis di daerah lain.

 

Bandung belakangan mengeluarkan Perda Kota Bandung No. 3 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Bogor dilain kota mengenakan pajak billboard khusus rokok dan alkohol berupa pajak tambahan 25%. Di tingkat nasional, selain dengan peraturan pemerintah di atas, kebijakan pemerintah di bidang cukai dianggap eksesif dan tidak dapat diprediksi. Selain itu di tingkat internasional, adanya Konvensi Internasional Pengendalian Produk Tembakau juga dirasakan Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok semakin mempersulit industri rokok.

 

Memang, Hakim di awal acara menyatakan pabrik rokok mustahil bangkrut, tapi Ismanu tetap memperingatkan akan dibahayakannya nasib 10.150.000 orang tenaga kerja dari hulu ke hilir produksi rokok dan terancamnya pendapatan negara dari cukai yang terus naik tiap tahun. Pada akhirnya Ismanu hanya mengharapkan undang-undang yang komprehensif dan berimbang, yang mana industri juga dilibatkan sebagai stakeholder dalam proses perumusannya sesuai dengan ketentuan pada UU No. 10 tahun 2004. Industri haruslah diperlakukan sebagai subjek, seru Ismanu.

 

Walau begitu, tampaknya para stakeholder harus sabar menunggu karena RUU Pengendalian Dampak Tembakau belum menjadi agenda dari DPR-RI. Sejak Februari 2006 sudah sampai di tangan kepala Badan Legislatif dan DPR, terang Hakim sambil memaklumi keterbatasan kapasitas DPR.

 

Reaksi dari pemerintah sendiri secara informal, Hakim mendengar Menteri Kesehatan telah membentuk Tim Penanggulangan Masalah Tembakau. Tapi, sebagian besar personel pemerintah masih menganut paradigma yang salah mengenai akibat undang-undang semacam itu membahayakan investasi. Kita sambut investasi asal tidak mencelakakan, ujarnya.

 

Lain soal masalah kenaikan cukai. Tidak perlu menunggu lama lagi, akan segera disahkan Undang-Undang Perpajakan dan Bea Cukai. Undang-undang tersebut nantinya akan menaikan 65 persen cukai terhadap tembakau, Sejalan dengan RUU Pengendalian Dampak Tembakau, tambah Hakim.

 

Sebagai tambahan, Hakim mengingatkan bahwa Phillip Morris, industri tembakau terbesar di Indonesia, telah menandatangani perjanjian International Tobacco Product Marketing Standard 2001 yang berisi kesepakatan tidak akan melakukan pengiklanan secara massal, stop segala sponsorship terhadap kegiatan-kegiatan olahraga, dan tidak akan mengiklankan kepada anak-anak. Berdasarkan perjanjian ini, walaupun belum ada undang-undang yang mengatur, Phillip Morris harus tunduk pada perjanjian yang dibuatnya. Pada kenyataannya, ujar Hakim, Phillip Morris menerapkan standar ganda di Indonesia dan Thailand. Tanya Kenapa!

 

Seminar yang dilaksanakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia bertajuk Uji Publik RUU Pembatasan Rokok di Depok beberapa hari lalu sekilas terlihat tidak seimbang. Satu wakil dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok dikerubungi empat kaum anti rokok: Anggota Komisi IX DPR, Direktur Blora Institute, anggota DPRD DKI Jakarta, dan Prof. Eko Prasodjo.

 

Profesor Eko Prasojo melihat gejala ini sebagai pertanda masyarakat dan pelaku usaha rokok belum melihat pengesahan undang-undang yang membatasi rokok dan mengendalikan dampak merokok sebagai masalah yang mendesak untuk dipecahkan.

 

Bertentangan dengan pengamatan Eko, anggota Komisi IX DPR Hakim Sorimuda Pohan berpendapat RUU Pengendalian Dampak Tembakau (PDT) sangat mendesak untuk disahkan. Anggota DPR yang juga dokter ini menekankan pada tidak berimbangnya cukai yang masuk ke keuangan negara dengan dana yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi dampaknya. Indonesia salah satu negara yang menetapkan cukai rokok terendah, katanya.

Tags: