Revisi KUHP Harus Mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Berita

Revisi KUHP Harus Mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Titahnya jelas: jangan ada lagi pasal yang sama atau mirip dengan isi pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Revisi KUHP Harus Mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

 

Panji Utomo tidak menyangka permohonannya dikabulkan. Namun kini yang merisaukannya adalah tindak lanjut dari putusan Mahkamah. Senada dengan Semendawai, Utomo juga berharap agar Pemerintah dan DPR tidak lagi memaksakan adanya pasal-pasal karet dalam KUHP ke depan.

 

Harapan Panji Utomo dan Semendai setidaknya sudah diperingatkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya. Pada perkara permohonan Eggi Sudjana, misalnya, Mahkamah berusaha mengingatkan tim penyusun dengan kalimat berikut: Sehingga dalam RUU KUH Pidana yang merupakan upaya pembaruan KUH Pidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUH Pidana. Dalam putusan perkara permohonan R. Panji Utomo, kalimat yang sama juga dicantumkan pada bagian pertimbangan.

 

Pada persidangan perkara ini, Pemerintah memang sudah menjelaskan adanya perubahan konsep pasal-pasal karet tersebut. RUU KUHP masih mencantumkan klausul sejenis tetapi dengan perubahan dari delik formil semata, menjadi delik materiil. Artinya, sekarang akibat hukum yang ditumbulkan penghinaan harus terbukti menurut hukum. Masalahnya, kata Semendawai, bagaimana memastikan hubungan sebab akibat perkataan seseorang yang dituduh menghina dengan keonaran yang terjadi. Membuktikan adanya hubungan sebab akibat tidak mudah, ujarnya.

 

Sebenarnya, berdasarkan catatan hukumonline, pasal pidana yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bukan hanya pasal-pasal KUHP tadi. Mahkamah Konstitusi juga pernah menjatuhkan putusan serupa untuk ancaman pidana terhadap orang yang berpura-pura menjalankan profesi advokat padahal bukan advokat (pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003) dan pasal-pasal ancaman pidana dalam UU Praktek Kedokteran (pasal 75 ayat 1, pasal 76 dan pasal 79 UU No. 29 Tahun 2004).

 

Bagaimanapun, Pemerintah dan DPR yang akan membahas RUU KUHP harus melakukan sinkronisasi RUU itu dengan peraturan khusus lain dan putusan-putusan lembaga peradilan.

 

Akhir Agustus ini, Menteri Hukum dan HAM disertai Tim Penyusun harus mempresentasikan draft akhir RUU KUHP di hadapan Presiden SBY. Draft yang disampaikan ke Presiden adalah versi terakhir per Januari 2007. Pada draft tersebut, pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden masih dicantumkan walaupun sifat deliknya sudah berubah. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan agar tidak ada lagi pasal yang bunyinya sama atau mirip dengan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP.

 

Sebelumnya, Direktur Perancangan Perundang-Undangan Dephukham Suharyono mengatakan bahwa Kementerian Hukum dan HAM berprinsip menyerahkan sepenuhnya pembahasan draft RUU KUHP ke DPR. Klausul penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden masih tercantum.

 

Menanggapi hal itu, Koordinator Aliansi Nasional Reformasi KUHP Abdul Haris Semendawai mengatakan tidak ada alasan bagi Pemerintah dan DPR untuk tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK kan bersifat final dan mengikat, kata Semendawai dalam diskusi publik Reformasi KUHP dan Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis (16/8) pekan lalu.

 

Ia berharap agar Pemerintah dan tim penyusun RUU KUHP tidak mengabaikan putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi. Hingga saat ini, setidaknya sudah dua permohonan mengenai pasal tertentu KUHP yang dikabulkan Mahkamah. Pertama, adalah permohonan yang diajukan Eggi Sudjana terhadap pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP. Dengan perbandingan suara 5 : 4, Mahkamah menyatakan ketiga pasal tadi bertentangan dengan UUD 1945.

 

Permohonan kedua diajukan dokter R. Panji Utomo, seorang aktivis yang menjabat Ketua Forum Komunikasi Antar Barak Pengungsi di Aceh. Ia mengajukan judicial review terhadap tujuh pasal dalam KUHP yaitu pasal 107, 154, 155, 160, 161, 207 dan pasal 208. Yang dikabulkan Mahkamah hanya pasal 154 dan pasal 155 KUHP. Dengan suara bulat, kesembilan hakim MK menyatakan kedua pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: