Jurus Merancang Perilaku Sosial yang Transformatif
Resensi

Jurus Merancang Perilaku Sosial yang Transformatif

Sebuah peraturan tak sekedar berisi larangan dan hukuman. Ia harus mampu membentuk perilaku dan membuat perubahan sosial.

NNC
Bacaan 2 Menit
Jurus Merancang Perilaku Sosial yang Transformatif
Hukumonline

 

 Itulah yang hendak dijawab oleh buku mungil terbitan PSHK ini. Peraturan, selama ini dibuat hanya untuk menentukan apa yang dilarang dan apa hukumannya. Buku ini mau mencoba mengajak bagaimana sebuah peraturan bisa menjadi alat untuk menciptakan transformasi sosial, ujar Direktur eksekutif PSHK Bivitri Susanti yang juga anggota Tim Penyusun buku  ini.

 

Salah satu cara untuk itu, diperlukan sebuah pendekatan hukum yang responsif. Ini kebalikan dari hukum represif yang diterapkan lebihdari seperempat abad di Indonesia oleh rezim Orde baru. Dengan pendekatan hukum responsif, maka sebuah peraturan bukan hanya ditujukan untuk menjagal perilaku bermasalah semata, tapi juga menemukan penyebab permasalahan sekaligus mencerabut akar-akar penyebab permasalahan.

 

Menurut buku ini, syarat utama pendekatan hukum responsif adalah  partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dan digunakannya metode pemecahan masalah atau MPM (hlm-40). Metode ini menekankan agar sebelum membuat peraturan, terlebih dulu perancang peraturan melakukan penelitian mendalam untuk menemukan permasalahan yang timbul di masyarakat. Permasalahan bisa ditemukan dari perilaku berulang di masyarakat. Dalam buku ini perilaku berulang ini disebut institusi.

 

Setelah mengulas langkah mengidentifikasi permasalahan di masyarakat dengan sejumlah metode, buku ini lalu mengajak untuk mentabulasi seperangkat solusi untuk memecahkan persoalan. Selama ini, solusi yang digemari legislator adalah pemberian sanksi. Paradigmanya, Tidak ada sanksi, maka tidak ada peraturan.

 

Padahal, menurut tokoh kartun tanpa nama yang menjadi tokoh penutur dalam buku ini, Tidak tepat begitu, sanksi hanyalah menyelesaikan sebagian kecil penyebab perilaku bermasalah. Penekanan terlalu berlebihan pada sanksi malah menjauhkan perancang dari akar permasalahan.

 

Contohnya: Dibanding menambah sanksi pidana bagi pelanggar lalu lintas, seorang perancang mungkin lebih baik menentukan rasio atau perbandingan yang memadai antara jumlah personil polisi lalu-lintas dengan ruas jalan yang ada dan kepadatan pengendara yang melalui (hlm.106). Menariknya, usai si tokoh bijak mengoceh, dalam buku ini acap disediakan bagian yang memuat contoh kasus.

 

Tiga Paket Jurus

Materi dalam buku ini dikelompokkan dalam tiga bab besar yang dijuluki Jurus-Jurus, Jurus- Jurus Dasar terdiri dari 4 jurus, Jurus-Jurus Utama terdiri dari tiga jurus dan Jurus-Jurus Tambahan berisi dua jurus. Itulah kenapa di bagian sampul buku tergambar pula dua sosok kartun yang memperagakan gerakan bela diri di depan angka sembilan yang dicetak dengan balutan spot-UV.

 

Laiknya kuda-kuda dalam pencak silat, buku ini memulai pembahasan paling mendasar dari sebuah proses legislasi, yakni pengenalan tentang apa itu hukum (Jurus 1, hlm.7).  Uniknya, pengenalan hukum tersebut hanya disinggung dalam dua halaman. Itu pun sudah berjejal dengan ilustrasi yang lumayan membuat mata tak capek ketika memelototi. Kesan saat membaca buku ini cenderung seperti membaca sebuah buku komik.

 

Aturan yang dibikin pembuat peraturan sejatinya ditujukan untuk membuat kehidupan masyarakat kian membaik. Tujuan dibuatnya peraturan sebisa mungkin juga merupakan tujuan bersama masyarakat, bukan tujuan penguasa atau negara. Secara esensial, peraturan merupakan buah hasil dari perjanjian bersama masyarakat (Law as a contract social). Namun pemahaman filosofis semacam ini ternyata kurang dibahas dalam buku ini.

 

Justru itulah yang ingin dijauhi si Sembilan Jurus. Pembahasan yang menimbulkan kesan terlalu akademis hendak ditipiskan. Awalnya, dalam konsep, bahasanya malah sangat lunak hingga terkesan terlalu nge-pop. Tapi karena audien yang hendak membaca dari kalangan praktisi, maka semaksimal mungkin kami membuat bahasa yang tidak membuat materi menjadi remeh untuk dipelajari, jelas Media Planner Inspirit Dicky Lopulalan. Inspirit adalah lembaga yang dirangkul PSHK dalam reproduksi buku ini.

 

Seputar Pembuatan

Buku cetakan kedua ini disponsori oleh Konrad Adenauer Stiftung, sebuah yayasan penyumbang dana asal Jerman. Dicetak sebanyak 2000 eksemplar. Sebelumnya pernah pula diterbitkan oleh lembaga yang sama pada 2005 sebanyak seribu eksemplar atas bantuan The Asia Foundation (TAF) dan USAID (United States Agency for International Development).  Judulnya: Manual Perancangan Peraturan untuk Trransformasi Sosial.

 

Secara fisik, perbedaan mencolok antara kedua buku itu ada pada dimensi buku. Cetakan terakhir lebih handy, enak ditenteng, lantaran ukuran yang kecil. Selain fisik, sentuhan ilustrasi pada 9 Jurus juga  lebih diperkaya. Bisa dikatakan hampir 70 persen halaman dipadati gambar.

 

Meski sama-sama berhias ilustrasi, buku terakhir menempatkan ilustrasi bukan sekedar hiasan perehat mata, namun difungsikan pula sebagai pembentuk alur tulisan. Tujuannya, selain agar tidak berkesan jadi momok yang menakutkan untuk dibaca, dipercayai juga bahwa konon sebuah pesan yang hendak disampaikan bakal lebih cepat diserap dengan bantuan visual.

 

Sejatinya buku ini merupakan manual bagi  praktisi yang bersinggungan dengan proses legislasi. Mulai dari bapak ibu terhormat di kursi Parlemen, baik di Pusat maupun daerah, Pemerintah Daerah, dan juga jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat yang sering melibatkan diri dalam proses perancangan peraturan.

 

Ilustrasi dan  isu gender

Proses pencetakan sempat molor hampir setengah tahun lantaran seorang anggota Tim Penyusun, Herni Sri Nurbayanti protes melihat hasil ilustrasi. Sebab, dari semua gambar yang sudah dihasilkan, tidak ada satu pun tokoh perempuan di situ. Akhirnya kami hanya bisa menambah-nambahi, ujar Dicky. Itulah kenapa, meski akhirnya muncul dalam empat tokoh utama, Ayah-Ibu dan dua anak lelaki-perempuan, dua tokoh wanita nampak muncul dipaksakan. Kesannya sebagai figuran, ujar Herni.

 

Satu lagi, selain menumbuk halus bahasa dan mengemasnya menjadi semacam Komik, ada penambahan materi tentang masyarakat rentan. Dicontohkan di sini, selain perempuan, masyarakat rentan ini juga para penyandang cacat atau kaum miskin kota. Mereka ini acapkali dianggap sebagai subyek peraturan  yang terlupakan. Ini masuk menjadi satu bab, pada buku sebelumnya ini terlewat. Dengan ditambahi itu, positioning kita di sini jadi makin jelas, tambah Dicky.

 

Ingat perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura? Banyak pihak yang menganggap perjanjian itu merugikan Indonesia. Dalam sebuah perhelatan di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan pertengahan Juli lalu, Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwono,--seraya menunjukkan lembaran Perjanjian Indonesia-Singapura, mengatakan pada hukumonline, Inilah kita, belum punya  legal drafter yang handal, yang bisa memahami secara komprehensif redaksional sebuah draft peraturan bersama. Akibatnya apa? hal yang ingin diperjanjikan dengan apa yang tertulis di perjanjian jadi berlainan tanpa tersadari.

 

Itu satu komentar. Satu lagi dari anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Patrialis Akbar. Dalam acara Ulang Tahun keempat Mahkamah Konstitusi (MK), politikus dari Partai Amanat Nasional itu mengeluhkan banyaknya anggota parlemen yang kurang memahami Konstitusi. Walhasil, produk-produk bikinan lembaga legislatif itu dengan mudahnya menjadi buntung oleh Putusan MK. Tercatat, selama 4 tahun usia MK, dari 263 permohonan Pengujian Undang-Undang yang masuk ke lembaga itu,  73 diantaranya dikabulkan.

 

9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial : Sebuah Manual untuk Praktisi

Tim Penyusun: Rival Gulam Ahmad et al.

Penerbit: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta

Edisi Kedua, 2007

Dimensi: x + 298 halaman; 12,5cm x 19cm

 

Terlepas apakah putusan MK menunjukkan buruknya produk peraturan di Indonesia, sejarah   mencatat,  rezim despotik orde baru telah membingkai peraturan menjadi tujuan kekuasaan. Di masa itu, kentara sekali masyarakat benar-benar dijadikan obyek. Partisipasi masyarakat dibuntukan dalam proses legislasi (Jurus 3, hlm. 18-29). Kini, setelah proses legislasi membuka pintu bagi aspirasi masyarakat melalui Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), mau tidak mau, masyarakat berubah menjadi subyek dalam proses legislasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: