Mengefektifkan Dua Cara Membersihkan Mafia Peradilan
Oleh: Subagyo*)

Mengefektifkan Dua Cara Membersihkan Mafia Peradilan

Kita belum mendengar Mahkamah Agung (MA) melakukan langkah progresif untuk memecati para hakim nakal. Sebagian besar hakim nakal hanya diberi sanksi berupa larangan menangani perkara, atau menjadi hakim nonpalu. Sejak dahulu seperti itu.

Bacaan 2 Menit
Mengefektifkan Dua Cara Membersihkan Mafia Peradilan
Hukumonline

 

Para pejabat hukum baru ini membuat kontrak jabatan dengan rakyat dan mereka harus berani melakukan penangkapan kepada para advokat liar yang menjadi makelar kodok dunia hukum. Perang itu harus dilakukan. Rakyat telah lama merindukan negara ini untuk benar-benar memberi keadilan. Negara mestinya pantang membiarkan jual-beli keadilan, jika tak ingin disebut lokalisasi prostitusi hukum.

 

Cara kedua, menggunakan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tujuan pembentukannya memang untuk menciptakan penyelenggara negara dan pemerintah yang bersih dan berwibawa. KPK diperkuat, struktur dan keanggotaannya diperbanyak, selanjutnya melakukan pekerjaan 'pengintaian' bekerjasama dengan jejaringnya di daerah-daerah dengan melibatkan masyarakat. KPK jangan dibentuk didaerah sebab nanti akan menjadi sumber masalah korupsi baru jika sulit dikontrol. Rakyat dan jejaring ini juga berfungsi mengontrol kinerja KPK di seluruh tanah air.

 

Kalau KPK bisa menangkap pejabat Komisi Pemilihan Umum dan Kepala Kantor Pertanahan Surabaya dalam kasus suap (salah satu bentuk korupsi) maka itu juga dapat dilakukan kepada para pejabat lainnya di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. KPK harus mempunyai spionase yang bekerja secara merata di tanah air, menyamar menjadi para pencari keadilan, sehingga para pejabat penegakan hukum kita, termasuk advokat, akan selalu miris dan takut untuk melakukan perbuatan suap-menyuap sebab mereka setiap saat merasa dibayang-bayangi oleh para malaikat pemburu.

 

Para penegak hukum nantinya akan berpikir bahwa jangan-jangan pencari keadilan yang sedang dilayani adalah anggota KPK yang sedang menyamar. Jika para pejabat itu sudah tak takut dengan Tuhan sejati maka mereka akan takut kehilangan kekuasaan (jabatan dan uang), sebab Tuhan mereka adalah jabatan dan kekuasaan.


Janganlah negara ini justru akan semakin rusak parah dan terus diinjak-injak oleh kelakuan para penyelenggara negara sendiri, dan semakin lama semakin tertinggal jauh oleh peradaban. Jika mafia peradilan itu adalah tembok baja, kita sebenarnya telah punya peralatan cor baja untuk membongkarnya, yaitu kemauan politik negara untuk serius mengurusi negara. Kita semakin tertinggal jauh, bahkan oleh negara-negara tetangga yang dahulu kita anggap kecil. Nigeria yang empat tahun lalu korupsinya jauh lebih parah dari Indonesia kini jauh meninggalkan Indonesia.

 

Negara ini besar secara teritorial, tapi kecil dalam soal mental. Kekayaan talenta teknologi generasi muda kita, kekayaan kebudayaannya, sumber daya alam dan manusianya, tak sanggup mengayakan kepribadian negara sebab ini negara salah urus, dikuasai drakula-drakula sosial yang hanya berpikir bagi diri sendiri dan tak pernah mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan negara. Para pejabat negara masing-masing sibuk menghitung untung-rugi jabatannya, siang-malam otaknya merangkai-rangkai kenikmatan.

 

Perilaku khusuk ibadah ritual untuk mengelabui umum, tapi mereka sejatinya selalu bergentayangan dalam kegelapan penglihatan untuk mengejar hayalan hidup senang. Tapi mereka hidup senang dengan merusak nasib orang lain. Semangat maju tak gentar bukan untuk membela yang benar, tapi untuk yang membayar. Mereka tidak sadar bahwa anak cucu mereka kelak bisa jadi akan menjadi korban mafia peradilan yang mereka tradisikan, jika tak segera dihentikan.

 

*) Penulis adalah advokat publik di Lembaga Hukum, HAM & Keadilan Indonesia (LHKI), dan  Walhi Jatim.

 

Dunia peradilan dibersihkan dengan cara usang dan formalistis. Sampah yang mestinya dibuang, tapi hanya dipinggirkan. Tak ada perubahan. Pantas jika lembaga yudisiil tetap pada wibawanya yang rendah, dicibir bibir sosial. Kalau hakim tak bermoral tetap dipelihara sama halnya menimbun sampah.

 

Dunia peradilan kita kini ibarat tubuh manusia yang berpenyakit komplikatif. Ada kanker, tumor, diabetes, sakit liver, hipertensi dan lain-lain, bahkan usus-ususnya ditumbuhi varises serta kurap. Penyakit peradilan kita dimulai dari penyakit korup polisi, jaksa, advokat (pengacara) dan hakim, ditambah lagi hobi masyarakat berduit untuk  merampas keadilan dengan cara membeli melalui jalur-jalur mafioso tersebut.

 

Ada banyak pula masyarakat yang 'terpaksa' membeli haknya sendiri lewat jalur tersebut jika tak ingin haknya terampas oleh masyarakat berduit melalui bursa lelang keadilan yang ditentukan oleh banyaknya uang. Dunia advokat pun tampak menikmati suasana itu. Tak ada gerakan organisasi advokat guna setidaknya merevolusi diri.

 

Bukan hanya Bursa Efek Jakarta (BEJ) ataupun Bursa Efek Surabaya (BES) yang dipenuhi transaksi. Kantor-kantor kepolisian, kejaksaan dan pengadilan hingga kini tetap ramai dengan aliran uang. Bagi para makelar serta saudagar hukum bursa mafia peradilan menjadi ajang yang sangat menguntungkan untuk mengeruk uang haram itu. Persetan dengan aturan agama sebab Tuhan mereka adalah kekayaan. Persetan dengan hukum sebab hukum adalah uang. Hukum - yang kata Hans Kelsen bersifat sebagai alat paksa - tak mampu memaksa komunitas hukum agar berubah menjadi bersih, padahal Roscoe Pound mengatakan, law as tool of social engineering. Pasalnya, yang menjadi penyakit sosial justru penegak hukumnya sendiri. Apakah kotoran akan membersihkan dirinya sendiri?

 

Ada cara untuk mendobrak tembok tebal mafia peradilan. Cara pertama, saya sebut sebagai revolusi organisasi atau kelembagaan negara. Pengurus MA diganti dengan orang-orang baru yang telah teruji secara sosial. Tidak sekedar sebagai 'orang bersih' tapi juga berani melakukan revolusi internal yudisiil. Para hakim yang mayoritas menjadi tikus harus diturunkan dari fungsinya. Para hakim disortir ulang. Cara ini yang pernah diusulkan Komisi Yudisial (KY), tapi ditolak DPR. Cara itu pula yang harus dilakukan di lembaga kepolisian dan kejaksaan. Jika korporasi gampang melakukan rasionalisasi dengan mem-PHK para buruh yang tak berdosa maka negara gampang memecati para pejabat yang penuh dosa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: