Penanganan Kasus Bermasalah, Saatnya KPK Buka Cabang
Berita

Penanganan Kasus Bermasalah, Saatnya KPK Buka Cabang

Kalau KPK buka cabang di daerah, ada kekhawatiran terjerat birokrasi Muspida

Rzk
Bacaan 2 Menit
Penanganan Kasus Bermasalah, Saatnya KPK Buka Cabang
Hukumonline

 

KPK Jilid I melalui Ketuanya Taufiqurrahman Ruki sempat merespon wacana ini. Di sela-sela Raker dengan Komisi III, Ruki menyatakan pembentukan perwakilan di daerah belum menjadi program prioritas KPK. Alasannya, keterbatasan SDM dan konsekuensi anggaran yang akan dihabiskan. Berbeda dengan pendahulunya, Ketua KPK 2007-2012 Antasari Azhar sebagaimana dilansir situs KPK, mengatakan pihaknya telah menyiapkan rencana untuk memperlebar sayap pemberantasan kasus korupsi di daerah. Sejauh ini, konsep yang dibayangkan Antasari adalah KPK membuka kantor perwakilan di tingkat provinsi atau berdasarkan kewilayahan (zona).

 

Sementara itu, Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Handoyo Sudrajat mengatakan pembentukan perwakilan KPK di daerah sulit terwujud apabila kultur birokrasinya belum berubah. Menurutnya, birokrasi di daerah masih cenderung permisif terhadap perilaku koruptif. Sebagai contoh, adanya forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) yang didalamnya ada alokasi bantuan anggaran kepada institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Pimpinan KPK di daerah bisa terkontaminasi atau bahkan terkooptasi kalau kulturnya seperti ini, ujarnya. 

 

SDM-Anggaran

Anggota Komisi III Gayus Lumbuun berpendapat memang sudah semestinya KPK membentuk perwakilan di daerah. Pasalnya, fakta menunjukkan banyak kasus yang ditangani KPK berasal dari daerah. Oleh karenanya, agar penanganan kasus korupsi di daerah berjalan efektif maka perlu ada koordinasi yang erat dengan instansi penegak hukum di daerah. Sekaligus dalam rangka memberikan akses yang luas kepada publik untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi, tambahnya.

 

Seperti halnya Handoyo, Gayus berharap KPK daerah nantinya tidak terjebak dengan kultur birokrasi daerah yang selama ini terjadi. Forum seperti Muspida pada dasarnya penting dalam rangka mempererat hubungan antar lembaga terkait. Namun, dalam konteks pemberantasan korupsi, Gayus berpendapat seharusnya pihak eksekutif tidak dilibatkan, cukup hanya instansi penegak hukum. Terlebih lagi, banyak kalangan dari eksekutif yang justru terjerat kasus korupsi. Muspida model lama tidak efektif lagi, dan berpotensi menciptakan kolusi sesama instansi. KPK harus punya karakter yang berbeda, tukasnya.

 

Selain itu, Gayus menegaskan perlunya kajian yang cermat untuk mewujudkan gagasan ini, karena akan terkait dengan ketersediaan SDM dan anggaran. Komisi III siap membahas gagasan ini bersama-sama dengan KPK, pungkasnya.

 

Sejumlah penggiat LSM anti-korupsi menyampaikan uneg-uneg mereka seputar penanganan kasus korupsi di daerah. Sebagaian besar bernada sumbang. Sarah Lerry Mboeik, misalnya, menyampaikan keluhan seputar penanganan korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Direktur Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) ini menyoroti lambannya penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi di daerahnya. Indikatornya, berdasarkan pantauan PIAR-NTT, dari 80 kasus yang ada di NTT, 90% atau 72 kasus adalah kasus lama yang rata-rata sudah berusia dua tahun.

 

Masyarakat NTT jadi apatis dalam melakukan pemantauan dan melaporkan kasus-kasus korupsi karena hampir tidak ada kasus korupsi yang dituntaskan oleh aparat penegak hukum, katanya. Sarah mengemukakan sebagian besar kasus di NTT ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan setempat. Tercatat hanya satu kasus yang sempat diambil-alih Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun nasibnya tidak kunjung jelas.

 

Sementara itu, Adnan Buyung Aziz, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, mengemukakan beragam ‘permainan kotor' sejumlah oknum aparat penegak hukum yang membuat penanganan kasus tidak jelas. Mulai dari bolak-baliknya berkas antara Kepolisian dan Kejaksaan, jual-beli penangguhan penahanan tersangka, sampai aksi gratifikasi.

 

Keluhan Sarah dan Adnan diamini oleh rekan-rekan dari daerah lainnya yang hadir dalam Workshop Nasional Antikorupsi 2008 di Jakarta (4/2). Mereka seolah-olah hendak menyampaikan bahwa penanganan kasus korupsi di daerah tidak ‘sehiruk-pikuk' di Jakarta. Untuk itu, sebagian besar dari mendesak KPK agar segera membentuk perwakilan di daerah. Kami ingin mendorong agar KPK ada di daerah, cetus Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) FH UGM.

 

Lontaran Oce sejalan dengan aspirasi yang berkembang di daerah. Berdasarkan Kompilasi Masukan Hasil Konsultasi Publik Calon Pimpinan KPK yang digelar di lima kota besar, muncul desakan perlunya pembentukan perwakilan KPK di daerah. Bali, misalnya, mengusulkan pembentukan perwakilan KPK di daerah dengan kewenangan terbatas yang bersifat non penindakan, seperti menerima laporan masyarakat dan melakukan tugas-tugas dibidang pencegahan. Sementara itu, Semarang justru merekomendasikan KPK daerah juga memiliki kewenangan dalam penanganan kasus yang nilai kerugian negaranya minimal adalah Rp500 juta.

 

Gagasan lama

Gagasan ini sebenarnya bukan barang baru. Beberapa waktu lalu, ICW sempat menggelontorkan wacana pembentukan perwakilan KPK di daerah. Dasar pemikirannya adalah karena faktanya jumlah korupsi di daerah lebih besar dibanding pusat. Data Independent Report Indonesia ICW 2007 mencatat, 60,6% aktor korupsi banyak terjadi di tingkat rendah. UU No. 30 Tahun 2002 membuka peluang terwujudnya pembentukan perwakilan KPK di daerah.  Pasal 19 ayat (2) menyatakan KPK dapat membentuk perwakilan di daerah ibukota provinsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: