Singapore Airlines Dihukum Rp1 Miliar
Berita

Singapore Airlines Dihukum Rp1 Miliar

Majelis menganggap inti persoalan terletak pada kepatutan pemberian kompensasi saat perusahaan pengangkut terbukti melakukan willful misconduct.

NNC
Bacaan 2 Menit
Singapore Airlines Dihukum Rp1 Miliar
Hukumonline

 

Dalam rincian kerugian materiil, selain kerugian biaya pengobatan, dihitung pula kerugian rusaknya barang-barang pribadi, hilangnya karir akibat trauma terbang, berikut turut lenyapnya tunjangan perusahaan tempat Sigit bekerja berbarengan dengan menurunnya karir Sigit, dan lain sebagainya. Kerugian immateriil yang diuraikan sebagai kerugian akibat penderitaan berkepanjangan, dimintakan ganti rugi sebesar Rp 10 miliar yang mesti dibayar seketika berikut bunga 25%, terhitung sejak terjadinya kecelakaan pesawat pada 1 Nopember 2000.

 

Untuk penentuan ganti rugi ini, Majelis menentukan sendiri jumlah besaran ganti rugi yang patut dan wajar. Dengan mempertimbangkan upaya tergugat yang telah berusaha memberikan ganti rugi yang tidak diterima oleh penggugat, telah menunjukkan adanya iktikad baik dari tergugat, papar majelis. Maka kata Wahjono, Mempertimbangkan hal itu, hukuman yang patut dan layak adalah sebesar Rp1 miliar.

 

Sedangkan untuk beban bunga, karena Majelis memandang tidak lazim sebuah tuntutan ganti rugi sebuah peristiwa kecelakaan dibebani bunga, lanjut Wahjono, Petitum tentang bunga ditolak. Lagipula, Majelis menganggap kerugian immateriil seperti diutarakan Sigit dalam berkas gugatan  tidak memberikan patokan yang jelas buat Majelis untuk memutus.

 

Jika ditengok pada ketentuan pada Konvensi Warsawa 1929, jumlah ganti rugi yang ditaksir majelis dalam putusan ini sebenarnya sudah melebihi ketentuan ganti rugi sebesar 125 franc atau lebih kurang 20 ribu AS dollar. Namun karena Majelis menganggap telah terjadi kesalahan disengaja yang dilakukan SQ, maka Majelis pun menaksir sendiri kepatutan dan kewajaran jumlah ganti rugi. 

 

Dibandingkan dengan putusan PN Pusat yang menghukum maskapai penerbangan domestik Lion Air untuk membayar ganti rugi pada seorang penumpang ekspariat warga Amerika Serikat Salvatore Abbanato, jumlah ganti rugi buat Sigit memang kalah jauh, malahan tak sampai sepertiganya.

 

Namun Sigit yang turut hadir saat putusan dibacakan mengaku puas. Saya ini mungkin orang Melayu yang pertama kali menggugat penerbangan asing dan menang, ujar Sigit sumringah. Maklum, ia sudah menempuh jalan panjang berliku hingga meraih kemenangan di meja hijau negerinya sendiri.

 

Pada 2001 Sigit pernah menggugat SQ di Amerika namun kandas terbentur kompetensi absolut. Menuruti saran dari Pengadilan Paman Sam, Sigit melayangkan gugatan ke  Singapura. Namun karena trauma, Sigit takut terbang ke Negeri Singa untuk menyampaikan pengakuan tersumpah (affidavit). Trauma  Sigit ini berakibat gugatannya gugur di meja hijau Singapura.

 

Usaha dan aksi Sigit dalam berjuang menuntut haknya inilah yang dijadikan Majelis hakim melabrak ketentuan kadaluarsa 2 tahun seperti digariskan oleh Pasal 29 (1) Konvensi Warsawa. Bayangkan saja, sejak peristiwa kecelakaan yang menimpa Sigit, waktu sudah bergulir hampir sewindu. Namun demikian, Majelis berpendapat, dalam waktu terlewat itu masih terdapat kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya hukum yang sudah pernah dilakukan penggugat.

 

Ditanyai terpisah, salah satu Kuasa Hukum SQ dari kantor hukum Karimsyah menyatakan masih pikir-pikir dulu atas putusan ini.

 

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya menghukum Singapore Airlines (SQ) membayar kompensasi pada salah satu korban kecelakaan pesawatnya di bandara Chiang Kai Sek, Tai Pei, Taiwan, yang terjadi tujuh tahun silam.

 

Majelis hakim yang diimami oleh Wahjono, Selasa (5/2), menyatakan perusahaan asal Negeri Singa Putih itu telah melakukan kesalahan disengaja (willfull misconduct) dalam kecelakaan yang menimpa penggugat, dan sekaligus dalam waktu yang sama juga merenggut 82 korban meninggal dunia, termasuk 4 awak  pesawatnya.

 

Keputusan Majelis ini sedikit banyak sejalan dengan pendapat K Martono,  ahli yang dihadirkan di persidangan sebelumnya. Sesuai ketentuan Pasal 22 Konvensi Warsawa 1929, jika dapat dibuktikan adanya willfull misconduct, maka hakim dengan memperhatikan kecukupan bukti-bukti, dapat memutuskan jumlah ganti rugi yang patut dan wajar.

 

Bukti-bukti yang jadi perhatian majelis antara lain yang disodorkan penggugat berupa berita lansiran Agence France-Presse (AFP)—kantor berita Perancis, tanggal 16 Agustus 2002. Dalam laporan AFP, pilot dan co-pilot penerbang  pesawat SQ-006 yang nahas itu telah dipecat karena terbukti memakai runway yang salah. Berita ini juga dilengkapi dengan keterangan otorita penerbangan Taiwan yang menyatakan bahwa pesawat SQ-006 waktu itu telah diberi larangan untuk take-off tapi sang Pilot tetap saja  bebal tancap gas hendak melambung.

 

Putusan majelis ini hanya sepersekian dari tuntutan ganti rugi yang dituangkan Sigit Septiyono—si korban kecelakaan, dalam gugatan. Pada petitumnya, Sigit meminta  penyedia jasa burung besi itu memberikan ganti rugi sebesar lebih kurang Rp311 miliar.

Tags: