Jaksa Anggap Putusan WN Nigeria Bukan Error In Persona
Berita

Jaksa Anggap Putusan WN Nigeria Bukan Error In Persona

Dalam kontra memori PK, jaksa selalu mengedepankan fakta materil bahwa Denis tertangkap tangan membawa 73 kapsul berisi heroin di dalam perutnya. Fakta formil mengenai identitas Denis yang keliru tidak dianggap jaksa sebagai novum.

Nov
Bacaan 2 Menit
Jaksa Anggap Putusan WN Nigeria Bukan Error In Persona
Hukumonline

 

Apakah jika pada waktu sidang masih berlangsung diketahui terpidana bernama Solomon Cibiuke Okafor, bukan Namaona Denis, akan dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhkan pidana yang lebih ringan? papar Fauzan. Mungkin belum tentu juga. Karena, menurut Fauzan, majelis hakim pertimbangan hukumnya melihat fakta Solomon yang tertangkap tangan membawa heroin seberat 1000 gram sebagai dasar penjatuhan sanksi pidana. Lagipula, apa yang terjadi pada Solomon bukanlah error in persona.  

 

Error ini persona dimaknai jaksa termohon PK sebagai penjatuhan hukuman terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah. Sementara, dalam perkara Solomon, Fauzan menganggap sudah sangat jelas menunjukan bahwa Solomon adalah pelaku dari tindak pidana tersebut. Dengan cara menelan 73 kapsul berisi serbuk putih heroin jenis Narkotika golongan 1 seberat 1000 gram yang disembunyikan di dalam perutnya, jelasnya.   

 

Kesalahan penyebutan istilah error in persona untuk kesalahan identitas memang diakui ASCO. Ya, memang ini bukan error in persona. Ini kesalahan kita juga, kata Sutejo Sapto, salah satu pengacara yang tergabung dalam ASCO. Namun, walau bukan error in persona, kekeliruan identitas ini tetap dianggap sebagai cacat formil yang menyebabkan penuntut umum tidak memenuhi ketentuan formil surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2)a KUHAP. Harusnya, kalau memang niat membuat dakwaan yang sesuai dengan Pasal 143 ayat (2)a (KUHAP), penuntut umum mengecek kembali identitas atas nama Namaona Denis. Benar tidak dia warga negara Malawi? ujarnya.

 

Lebih dari itu, jaksa termohon PK juga tidak menjabarkan sepenuhnya apa yang tertera dalam dalam Pasal 263 ayat (2)a KUHAP. Di situ, selain disebutkan novum adalah keaadan yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas, putusan lepas, atau pidana yang lebih ringan, disebutkan pula dapat membuat tuntutan penuntut umum menjadi tidak dapat diterima. Yang dijabarkan hanya, apakah mungkin dengan identitas yang diketahui berbeda itu terdakwa akan dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhkan pidana yang lebih ringan? cetus Sutejo. Namun, poin yang menyatakan tuntutan penuntut umum menjadi tidak dapat diterima, tidak dijabarkan. Ini justru kontradiktif dengan pernyataan jaksa sebelumnya, imbuhnya.

 

Kalau saja kekeliruan itu sudah diketahui sejak awal, surat dakwaan bisa saja diperbaiki dan bisa mengajukan dakwaan ulang. Namun, karena sudah sampai pada tingkat kasasi, penuntut umum tidak dapat mengajukan kembali perkara yang sama. Paling, (Solomon) kena pemalsuan passport yang ancaman hukumannya hanya tujuh sampai delapan tahun, tukas Sutejo.

 

Tidak ada argumen

Selain mempermasalahkan novum dan error in persona, putusan hakim juga dianggap ASCO khilaf atau keliru dalam menerapkan pasal pemufakatan jahat di KUHP. Sutejo beralasan dua alat bukti yang menjadi dasar keyakinan hakim dalam membuat suatu putusan tidak terpenuhi. Kan, hanya berdasarkan pengakuan terdakwa. Harusnya tidak bisa. Tidak ada alat bukti lain yang memperkuat bahwa Solomon melakukan pemufakatan jahat sebelum ketahuan membawa heroin di badannya. Oleh karena itu, PK patut diajukan.

 

Sayang, dalil ini tidak ditanggapi jaksa termohon PK dengan uraian yang jelas. Fauzan hanya memaparkan, bahwa dalam memberikan suatu pertimbangan-pertimbangan hukum, kami yakin hakim Mahkamah Agung dalam mengambil suatu putusan, khususnya Putusan Mahkamah Agung RI No.1140 K/Pid/2002 tanggal 13 Agustus 2002 atas nama terpidana Namona Denis dengan hukuman mati, telah mempertimbangkan berbagai aspek dan sangat berhati-hati mempertimbangkan putusan tersebut.

Setelah dua minggu lalu (16/02) memori Peninjauan Kembali (PK) atas nama terpidana mati warga negara Nigeria, Solomon Chibuike Okafor alias Namaona Denis dibacakan. Senin (02/03), pihak termohon membacakan kontra memori PK di Pengadilan Negeri Tangerang. Dalam kontra memori tersebut, termohon menolak keadaan baru (novum) yang disodorkan pengacara Solomon.

 

Seperti diketahui, tim Advokasi Solomon Chibuike Okafor (ASCO) dalam memori PK mengusung empat belas novum yang diantaranya adalah sertifikat identitas tertanggal 29 Agustus 2008 dan surat keterangan Pengadilan Tinggi Anambra, Nigeria. Surat-surat tersebut mengungkap identitas Denis yang sesungguhnya.

 

Awalnya, putusan Mahkamah Agung RI No.1140 K/Pid./2002 tertanggal 13 Agustus 2002 memutus hukuman mati terhadap terdakwa bernama Namaona Denis yang berkewarganegaraan Malawi dan beragama Islam. Tapi, belakangan Denis diketahui bernama Solomon Chibuike Okafor, bekewarnganegaraan Nigeria, dan beragama Kristen.

 

Atas dasar novum ini, ASCO menganggap surat dakwaan penuntut umum tidak memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 143 ayat (2)a KUHAP, sehingga seharusnya tidak dapat diterima karena error in persona.

 

Namun, termohon tidak melihat surat-surat pernyataan dari negara asal Solomon itu sebagai novum. Menurut Fauzan, jaksa termohon PK, yang dimaksud dengan novum sebagai dasar pengajuan PK adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2)a KUHAP. Keadaan yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: