Kisah di Balik Tragedi WTC : Menggugat Perlakuan Diskriminatif
Fokus

Kisah di Balik Tragedi WTC : Menggugat Perlakuan Diskriminatif

Amnesti Internasional baru saja mempublikasikan sebuah laporan bertajuk Rights Denied : The UK's Response to 11 September 2001. Laporan itu menunjukkan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM, terutama terhadap kelompok minoritas di Inggris, sering terjadi pasca Tragedi WTC. Perlakuan serupa juga terjadi di Amerika Serikat.

MYs/APr
Bacaan 2 Menit
Kisah di Balik Tragedi WTC : Menggugat Perlakuan Diskriminatif
Hukumonline

Pada 11 September ini, peringatan setahun tragedi serangan terhadap Gedung World Trade Center (WTC), Amerika Serikat, berlangsung di mana-mana. Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta pun terpaksa ditutup sementara. Tetapi, rupanya, tragedi 11 September itu masih menyisakan bias.

Pasca tragedi itu, banyak warga negara AS dan Inggris yang kebetulan keturunan Arab diperlakukan secara diskriminatif. "Pemerintah telah menciptakan sistem keadilan yang samar-samar," komentar Livio Zilli, periset Amnesti Internasional.

Salah satu kasus yang diangkat Amnesti Internasional adalah apa yang dialami oleh Lotfi Raissi. Raissi, seorang keturunan Aljazair, ditahan Pemerintah Inggris di penjara Belmarsh --penjara dengan pengamanan ekstra-ketat -- selama lima bulan tanpa pernah di-interview.

Selama penahanan, Raissi dilarang sama sekali berhubungan dengan pengacara. Rupanya, penahanan Raissi didalangi AS. Karena selaku pilot dan instruktur penerbangan, Raissi dicurigai sebagai teroris. Ia dijerat dengan UU Anti Teroris yang baru disahkan akhir tahun lalu (Anti-terorism, Crime and Security Act 2001/ATCSA).

Raissi mungkin tidak sendirian. Dalam catatan Amnesti Internasional, paling tidak hingga Mei lalu ada tujuh orang warga negara Inggris yang dibuang ke tempat penahanan di Guantanamo Bay, Cuba, karena tuduhan yang sama.

Kasus-kasus tersebut mendorong Amnesti mengajukan memorandum terhadap ATCSA, khususnya Bagian 4. Bagian ini memang memberikan wewenang kepada Sekretaris Negara untuk mengecap seseorang sebagai teroris atau orang yang membahayakan keamanan nasional. Selain itu, menahan yang bersangkutan untuk jangka waktu tidak terbatas tanpa melalui proses pengadilan.

Menurut Amnesti, wewenang semacam itu tidak konsisten dengan hak kebebasan dan keamanan yang dijamin ketentuan-ketentuan HAM internasional. Padahal, Inggris pun terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: