"Saya hanya korban," ujar Tabrani pasrah, sebelum meringkuk di balik kerangkeng Rutan Salemba. Kepada wartawan, ia bersikukuh menyatakan tetap tidak bersalah atas semua tuduhan yang dilemparkan tim penyidik Kejaksaan. Oleh karena itu, penahanan dirinya kurang berdasar.
Tabrani bukan hanya ditahan. Sahamnya di Haga Bank disita. Demikian pula aset-aset lain, seperti rumah dan tanah, SPBU di Jakarta, vila mewah di Mega Indah Bogor, rumah di Sentul. Diperkirakan, nilai aset yang disita mencapai Rp4 miliar.
Penjelasan sebaliknya datang dari Asisten Pidana Khusus Kejati DKI, Marwan Effendi. Seperti alasan klise lainnya, Marwan berdalih bahwa penahanan Tabrani cukup berasalan. Ada kekhawatiran bila melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatannya.
Menurut ketua tim jaksa penyidik Budiman Raharjo, Tabrani telah melakukan penyalahgunaan wewenang untuk menentukan nilai proyek Exxor-I Balongan sesuai angka yang disodorkan Konsorsium Jepang senilai AS$1,823 miliar. Padahal berdasarkan perkiraan tim Pertamina yang dipimpin oleh Tabrani, nilai proyek Exxor-I tak lebih dari AS$1,623 miliar. Dengan demikian terjadi mark-up sebesar AS$189,58 juta.
Jika berkas Tabrani diserahkan ke PN Jakarta, ini untuk kesekian kalinya pejabat Pertamina diseret ke meja hijau. Berdasarkan catatan hukumonline, sejauh ini PN Jakarta Pusat sudah menyidangkan beberapa kasus korupsi di Pertamina.
Salah satunya adalah mantan Kepala Divisi Pengelolaan Devisa dan Perencanaan Direktorat Keuangan Pertamina Syaiful Bachri Ismail. Desember lalu, ia dinyatakan bersalah dan dihukum 7,6 tahun penjara. Syaiful diseret bersama enam orang lain (displit).
Sudah menjadi rahasia umum, sektor pertambangan dan energi--khususnya Pertamina--selama ini menjadi ladang empuk untuk melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Data terbaru yang dilansir BPKP dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) menunjukkan hal itu.