Sejuta Harap dan Cemas Advokat Tanpa Izin Praktek pada 2004
Fokus

Sejuta Harap dan Cemas Advokat Tanpa Izin Praktek pada 2004

Adi, sebut saja begitu, seorang pengacara, merasa beruntung ketika mengetahui bahwa lawannya berperkara tidak mengantongi izin praktek advokat. Merasa dirinya di atas angin, Adi dengan percaya diri "mengancam" pengacara lawan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 31 Undang-undang Advokat.

Amr
Bacaan 2 Menit
Sejuta Harap dan Cemas Advokat Tanpa Izin Praktek pada 2004
Hukumonline

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

                Sumber: Undang-undang No.18/2003  

Bagi sebagian orang ancaman ini menjadi semakin dekat ketika Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) menetapkan kebijakan daftar ulang advokat seluruh Indonesia pada Juni 2003. Bekerja sama dengan Mahkamah Agung, KKAI melakukan verifikasi terhadap belasan ribu pengacara baik yang mengantungi izin praktek dari pengadilan tinggi maupun izin dari Menteri Kehakiman di seluruh Indonesia untuk diseragamkan menjadi satu "tanda pengenal" yaitu "advokat KKAI".

Bagi mereka yang beruntung telah memiliki salah satu izin tersebut tentu tidak ada masalah. KKAI "hanya" mewajibkan mereka membayar biaya verifikasi sebesar Rp500 ribu per orang yang disetorkan melalui satu dari delapan organisasi advokat tempat si calon "advokat KKAI" terdaftar sebagai anggota. Bagi pengacara yang masuk kategori ini, hidup terasa indah meski mereka belum tentu lolos dalam proses verifikasi KKAI.

Namun, cerita tidak seindah itu bagi mereka yang tidak mengantungi SKPT (Surat Keputusan Pengadilan Tinggi) atau SK Menkeh. Pikiran dipenuhi sejuta tanda tanya mengenai nasib diri mereka dan masa depan pekerjaan. Bagi mereka, ancaman kehilangan pekerjaan "cuma" gara-gara tidak memiliki izin praktek tidak kalah tragis dengan berakhir menghitung hari di lantai dingin hotel prodeo.

Pegawai Administrasi

Salah seorang yang kurang beruntung itu adalah Wati (bukan nama sebenarnya), sarjana hukum yang kurang lebih setahun terakhir bekerja sebagai pengacara. Meski tempatnya bekerja bukanlah kantor hukum besar, namun ketiadaan izin advokat tetap saja menjadi halangan serius buat Wati dalam menjalani profesinya. Ketiadaan izin advokat itu jugalah yang membuat Wati sedemikian rupa dieksploitasi oleh kantor hukum tempatnya bekerja.

Dengan status sebagai paralegal, pekerjaan Wati sehari-hari tidak ubahnya seperti pengacara pada umumnya. Wati maju beracara ke sidang pengadilan, membuat memori-memori persidangan, menandatangani surat kuasa, membuat replik-duplik, bahkan, yang terakhir, merancang memori kasasi ke Mahkamah Agung. Yang membuat lulusan fakultas hukum universitas negeri di Depok ini sedih adalah rendahnya penghargaan dari kantornya akan hasil kerjanya.

Wati mengeluhkan kebijakan sang pemilik kantor tempatnya bekerja yang hanya menggajinya dengan fulus seorang pegawai administrasi. "Tenaga saya juga dipakai ke pengadilan dengan harga yang tidak sepantasnya. Sedangkan, yang mendapatkan fee dan segala macam itu adalah yang sudah punya sertifikat, dengan alasan posisi saya hanya sebagai paralegal. Itu kan sudah suatu hal yang tidak fair," tuturnya kepada hukumonline.

Wanita ini juga bukannya tidak mengetahui akan adanya sanksi hukum dari Undang-undang bila ia terus berlitigasi tanpa surat izin sebagaimana mestinya. Namun, keadaannya telah memaksanya untuk tetap "nekat" maju ke pengadilan menghadapi pengacara lawan yang terkadang menanyakan soal surat ijin tersebut. Menurut Wati, hal seperti itu hanya terjadi satu atau dua kali dan seringkali tidak diperpanjang oleh hakim. Meski pada persidangan sebelumnya hakim telah mengetahui bahwa ia tidak memiliki surat izin, tapi toh pada persidangan berikutnya ia tetap dibolehkan mewakili kliennya.

Situasi tersebut memang sangat dilematis bagi Wati. Di satu sisi, dia tidak ingin terus-menerus dieksploitasi oleh atasannya. Namun, di sisi lain, ujian advokat yang sudah dinanti-nanti lebih dari satu tahun tidak kunjung ada kepastian. Wati mengatakan kondisi seperti itu makin lama makin membuat suasana bekerja menjadi sangat tidak menyenangkan.

Kepercayaan klien

Kegelisahan seperti itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh pengacara-pengacara "papan bawah" semacam Wati, tapi juga sebagian pengacara kantor hukum "papan atas". Buktinya, ketakutan akan implikasi hukum dari ketiadaan surat izin advokat juga menjadi mimpi buruk bagi Ali (bukan nama sebenarnya), seorang konsultan hukum di sebuah firma hukum ternama di Jakarta.

Berbeda dengan Wati, kekhawatiran Ali tidak langsung berkaitan dengan gajinya sebagai konsultan hukum senior di kantornya, namun terhadap kekhawatiran akan  hilangnya kepercayaan dari klien-klien besar mereka. Klien-klien Ali yang hampir seluruhnya adalah perusahaan asing hingga saat ini tidak mengetahui bahwa untuk memberikan nasihat hukum sang konsultan harus memiliki ijin praktek. Jika klien mengetahui bahwa ia tidak memilikin izin, Ali mengaku tak berani membayangkannya. "Nah, itulah salah satu yang saya takuti. Sementara, untuk mendapatkan izin advokat itu masih tidak jelas," cetusnya.

Ali yang sudah lima tahun menjalankan profesinya sebagai konsultan hukum sesungguhnya masih mempertanyakan perlu tidaknya seorang konsultan hukum memiliki izin praktek seperti pengacara litigasi. Padahal, jika saja ia sempat membuka UUA, maka ia akan menemukan ketentuan Pasal 1 angka 2 yang berbunyi, "Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien".

Dan yang lebih mengejutkan lagi, Ali ternyata tidak tahu banyak tentang kebijakan baru dari KKAI yang mendaftar ulang semua pengacara di Indonesia untuk diangkat sebagai advokat. Sulit dibayangkan seorang konsultan hukum yang bekerja di firma hukum besar di Jakarta, namun tidak mengetahui centang-perenang dunia hukum yang terjadi di kotanya sendiri. Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang dengan profesi yang sama dan berada jauh di luar Jakarta?

Meski demikian, Ali menyatakan tidak keberatan dengan ketentuan UUA yang memperketat aturan bagi profesi hukum karena hal itu untuk menjaga keluhuran dari profesi itu sendiri. Namun, satu hal yang tidak ia setujui adalah ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan besar kepada KKAI untuk mengeluarkan kebijakan semacam verifikasi advokat. Menurutnya, hal-hal seperti itu lebih tepat jika diatur dalam peraturan pelaksanaan UUA.

Wadah tunggal

Pandangan yang nyaris senada juga dikemukakan oleh Dorma H. Sinaga. Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI) itu dengan tegas mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan KKAI terkait dengan verifikasi telah melampaui perintah dari Undang-undang Advokat itu sendiri. Pasalnya, kata Dorma, kewenangan KKAI bukanlah melakukan verifikasi akan tetapi membentuk organisasi advokat.

"Undang-undang hanya mengamanatkan kawan-kawan yang delapan organisasi profesi ini diminta untuk menjalankan terlebih dahulu tugas-tugas yang dimanatkan oleh Undang-undang. Artinya, mereka harus terlebih dahulu membentuk suatu wadah sebagai organisasi tunggal profesi. Tapi, itukan tidak dilakukan mereka. Kalau kita lihat dari arti Undang-undang seperti itu artinya delapan organisasi itu adalah sebagai caretaker. Sebagai caretaker dia tidak boleh mengeluarkan suatu kebijakan apapun yang mengikat keluar. Terlebih yang bersifat strategis," tegas Dorma.

Meski telah lama mengantungi izin SKPT, namun di mata Dorma kebijakan daftar ulang advokat yang dilakukan KKAI tetap saja memberatkan. Biaya daftar ulang yang tergolong mahal, Rp500 ribu, menurutnya, telah mengabaikan kepentingan para pengacara publik yang membela kepentingan masyarakat bawah. Selain itu, dalam melakukan tugasnya APHI banyak dibantu oleh sarjana-sarjana hukum yang kebetulan tidak memiliki izin praktek. Untuk itu, ia mengatakan telah mengirimkan permohonan pengujian Undang-undang Advokat terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

Bila rekan-rekannya seprofesi merasa keberatan dengan kebijakan KKAI terkait dengan verifikasi advokat, tidak demikian dengan advokat yang juga konsultan hukum Dewi K. Soeharto. Pemilik kantor hukum Dewi Soeharto Maramis ini sama sekali tidak mempunyai keberatan atas apa-apa yang dilakukan oleh KKAI. Menurutnya, sudah merupakan konsekuensi bagi mereka yang menjalankan praktek hukum bila ada aturan yang harus dituruti. Apalagi, ia menambahkan, aturan-aturan itu dibuat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

"Saya tidak melihat keberatan apapun dari pihak saya. Orang yang siap ya tidak berat. Yang tidak siap mungkin jadi berat," ujar Dewi. Ia mengatakan dari sekitar 17 lawyer yang bekerja di kantornya, 14 diantaranya telah memiliki izin advokat dan juga mengikuti verifikasi KKAI. Mengenai tiga orang lainnya, menurut Dewi, mereka adalah paralegal dan lawyer pemula yang merupakan fresh graduate.

Tampaknya tidak sedikit pengacara-pengacara lain yang sependirian dengan Dewi. Pasalnya, menurut pengurus KKAI Denny Kailimang, pihaknya telah memverifikasi tidak kurang dari 14 ribu orang pengacara praktek maupun advokat di seluruh Indonesia. Ia mengatakan bahwa tahap berikutnya dari verifikasi advokat adalah dikeluarkannya kartu tanda pengenal advokat oleh KKAI. Kartu ini, ujarnya, ditargetkan sudah berada di tangan para advokat sekitar Januari 2004. Seperti saat pendaftaran ulang, distribusi kartu tanda pengenal advokat tersebut akan dilakukan melalui DPC-DPC masing-masing organisasi advokat di seluruh daerah.

Dengan kebijakan daftar ulang advokat, jelas Denny, KKAI sebenarnya ingin menertibkan dunia advokat itu sendiri. Data yang diperoleh dari proses verifikasi akan digunakan untuk menyusun database advokat di seluruh Indonesia. Meski begitu, Denny mengakui bahwa belum semua advokat yang ikut dalam proses verifikasi tersebut. Pasalnya, tambahnya, jumlah advokat yang riil lebih dari 20 ribuan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Perkiraan Denny mengenai jumlah pengacara praktek dan advokat di atas tidak sepenuhnya meleset. Menurut data yang dimiliki Mahkamah Agung, sampai dengan 2002 jumlah pengacara praktek dan advokat se-Indonesia mencapai 20.112. Angka tersebut belum termasuk jumlah pengacara praktek yang lulus ujian yang diselenggarakan KKAI dan Mahkamah Agung pada awal 2002 sebanyak 3.324 orang. Jadi kalau ditotal, jumlah pengacara praktek dan advokat pada 2003 adalah tidak kurang dari 23.436. 

Tabel 1: Data Advokat dan Pengacara Praktek Seluruh Indonesia Tahun 2002

No

Nama Pengadilan Tinggi

Jumlah Advokat

Jumlah Pengacara Praktek

Keterangan

1

Banda Aceh

12

240

 

2

Medan

109

820

 

3

Padang

50

415

 

4

Pekanbaru

47

513

 

5

Jambi

10

191

 

6

Palembang

75

583

 

7

Bengkulu

4

90

 

8

Tanjung Karang

39

264

 

9

Jakarta

947

3.857

 

10

Bandung

679

2.817

 

11

Semarang

367

2.045

 

12

Yogyakarta

94

262

 

13

Surabaya

179

2.162

 

14

Banjarmasin

34

220

 

15

Palangkaraya

8

58

 

16

Pontianak

18

219

 

17

Samarinda

30

307

 

18

Makassar

56

520

 

19

Palu

5

134

 

20

Kendari

6

108

 

21

Manado

17

364

 

22

Denpasar

17

394

 

23

Mataram

24

252

 

24

Kupang

9

154

 

25

Ambon

8

152

 

26

Jayapura

7

120

 

 

Jumlah

2.851

17.261

20.112

 Sumber: Direktorat Hukum dan Peradilan Umum Mahkamah Agung 

Tabel 2: Jumlah yang Lulus Ujian Pengacara Praktek Tahun 2002

No

Wilayah

Jumlah Peserta Lulus

1

Banda Aceh

7

2

Medan

139

3

Padang

62

4

Pekanbaru

49

5

Jambi

65

6

Palembang

54

7

Bengkulu

26

8

Tanjung Karang

64

9

Jakarta

1.189

10

Bandung

598

11

Semarang

316

12

Yogyakarta

133

13

Surabaya

311

14

Banjarmasin

39

15

Palangkaraya

7

16

Pontianak

35

17

Samarinda

25

18

Makassar

88

19

Palu

17

20

Kendari

5

21

Manado

19

22

Denpasar

33

23

Mataram

18

24

Kupang

14

25

Ambon

-

26

Jayapura

11

 

Jumlah

3.324

 Sumber: Ditkumdil MA

Lebih jauh Denny menjelaskan bahwa tanda pengenal advokat yang akan dikeluarkan KKAI akan menggantikan SKPT dan juga SK Menkeh yang selama ini dipakai para advokat. mengenai yang satu ini, Denny mengatakan bahwa KKAI telah mendapat dukungan dari Mahkamah Agung yang tertuang dalam Surat Ketua MA No. KMA/445/VI/2003 tanggal 25 Juni 2003.

Melalui surat tersebut, Ketua MA menginstruksikan agar pengadilan tinggi tidak lagi melakukan pelantikan dan pengambilan sumpah terhadap pengacara praktek baru, serta menyatakan tetap berlaku surat ijin pratek yang dikeluarkan pengadilan tinggi sampai enam bulan sejak surat KMA ini dikeluarkan. Selain itu, Ketua MA juga mengingatkan kepada para ketua pengadilan tinggi untuk mengisi daftar ulang para pengacara dan advokat yang terdaftar dalam wilayah hukumnya, sebagaimana telah diperitahkan MA sesuai dengan surat MA sebelumnya No. MA/SEK/671/XI/2000 tertanggal 23 November 2000

"Dengan adanya Undang-undang yang baru ini sudah tidak berlaku lagi sebenarnya ijin-ijin yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi. kita menginginkan adanya suatu database semua anggota advokat ini sehingga kita juga melakukan kontrol dalam hal pelaksanaan tugas sehari-hari dari advokat. Itu harus tidak ada tawar-tawar lagi," cetus Denny. Untuk itu, ia juga berharap akan dukungan dari semua ketua pengadilan negeri untuk menertibkan advokat-advokat di wilayah hukumnya masing-masing.

Lawyer papan nama

Bagi orang-orang yang memiliki SKPT atau SK Menkeh namun tidak mengikuti verifikasi, menurut Denny, untuk sementara tidak bisa berpraktek di pengadilan. Denny mengatakan bahwa selaku Ketua Umum Asoasiasi Advokat Indonesia (AAI) ia telah menginstruksikan kepada semua anggotanya untuk memprotes advokat yang tidak memiliki ijin praktek. Jika ada lawfirm yang masih membiarkan lawyernya yang tidak memiliki ijin untuk berpraktek di pengadilan, maka yang bersangkutan bisa dibawa ke dewan kehormatan organisasi.

Mengenai sanksi hukum yang diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Advokat, Denny berpendapat bahwa pasal tersebut bukan ditujukan kepada lawyer yang sedang magang di kantor advokat. Ketentuan pidana itu, tambahnya, ditujukan untuk orang-orang yang memasang papan nama sebagai pengacara padahal yang bersangkutan sama sekali tidak mempunyai ijin. Pengacara-pengacara "liar" macam ini, menurut Denny, banyak ditemui di daerah-daerah.

Pendapat itu bisa jadi pendapat Denny sebagai pribadi, mengingat tidak ada satupun pasal dalam Undang-undang Advokat yang bisa dijadikan pijakan bagi penafsiran Denny atas Pasal 31 tersebut. Sebaliknya, akan lebih masuk akal jika semua orang yang bekerja di kantor hukum namun belum memiliki izin dianggap sebagai lawyer magang sehingga tidak terkena ancaman pidana. Dengan demikian pemilik kantor di mana orang tersebut bekerja bisa mengatakan bahwa yang bersangkutan berada di bawah tanggung jawabnya.

Dalam konteks itu, Denny mengatakan bahwa di KKAI saat ini ada pemikiran untuk mengkompensasikan waktu magang para lawyer dengan ketentuan dua tahun magang sesuai Undang-undang Advokat. Namun, Denny mewanti-wanti agar jika kebijakan ini jadi diterapkan, semua lawfirm harus mengeluarkan keterangan yang sebenar-benarnya mengenai waktu efektif orang-orang yang magang di kantor mereka.

Rambu-rambu semacam ini agaknya tidak berlebihan untuk segera diantisipasi oleh KKAI. Pasalnya, menurut Wati, praktek-praktek curang untuk menyiasati ketentuan magang sudah banyak dilakukan sejumlah lawfirm. "Ini terlihat dari beberapa kerabat advokat yang meminta nama mereka dicantumkan dalam surat kuasa supaya nanti ada bukti, padahal orang itu tidak pernah berpraktek. Jadi dia minta namanya dicantumkan terus nggak pernah ikutan sumbang apapun, naggak pernah tandatangan tapi nantinya dia akan dapat copy-copy kuasa itu," ungkap Wati.

Mengenai ujian advokat, Denny mengatakan bahwa sejauh ini KKAI masih menggodok pola pendidikan khusus bagi advokat serta mendata kantor-kantor hukum mana saja yang bisa menjadi tempat magang para advokat. Denny tidak bisa memberikan jawaban yang pasti soal kapan ujian advokat berikutnya akan diselenggarakan. Hal ini tentu saja merupakan kabar buruk bagi mereka yang telah lama menanti-nantikan ujian advokat.

Anggota Badan Akreditasi Nasional Departemen Pendidikan Prof. Mardjono Reksodiputro memperkirakan bahwa lulusan sekolah hukum per tahun di seluruh Indonesia mencapai 17.600 orang. Perkiraan ini didasarkan pada asumsi bahwa dari 26 fakultas hukum negeri di Indonesia masing-masing akan menghasilkan 100 lulusan per tahun (26 x 100 = 2.600). Dan fakultas hukum swasta se Indonesia yang berjumlah 200 akan menghasilkan 75 lulusan per tahun (200 x 75 = 15.000). Angka ini berarti lebih dari 17.000 sarjana hukum sedang menantikan ujian advokat.

Banyak celah

Kendati demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi mereka yang bermasalah dengan ijin advokat untuk menyerah dengan keadaan. Terlalu banyak celah dalam praktek hukum sehari-hari untuk dilewatkan begitu saja. Mungkin dengan cara-cara yang tidak se-merepotkan seperti yang dilakukan oleh APHI dengan mengajukan Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi. Misalnya, seperti yang dilakukan kantor hukum tempat Wati bekerja.

Pertama-tama, sang partner memperkenalkan Wati sebagai asistennya kepada seluruh aparat pengadilan mulai dari panitera sampai hakim. Pada tiap persidangan pertama sang partner memang langsung mewakili kliennya, sambil membawa sang asisten. Kemudian, pada persidangan berikutnya, si asistenlah yang mewakili klien di pengadilan. Pada tahapan ini, hakim atau lawan berperkara biasanya tidak pernah menanyakan soal ijin advokat.

Memang pengacara lawan terkadang menanyakan soal surat ijin prakteknya. Namun, menurut Wati, hal-hal seperti itu hanya terjadi satu atau dua kali dan seringkali tidak diperpanjang oleh hakim. Meski pada persidangan sebelumnya hakim telah mengetahui bahwa ia tidak memiliki surat ijin, tapi toh pada persidangan berikutnya ia tetap dibolehkan mewakili kliennya.

Jadi, tampaknya "kiamat" belumlah dekat bagi para lawyer yang kreatif dan punya nyali ekstra untuk maju membela klien di pengadilan. Namun, yang perlu benar-benar dicamkan adalah kepentingan hukum dari klien tidak boleh dirugikan dengan alasan apapun. Hancurnya kepercayaan klien atas advokat akan berujung pada kehancuran dari integritas dan juga martabat dari advokat itu sendiri.

"Hati-hati Bung, kalau anda tetap maju ke pengadilan, langkah anda selanjutnya mungkin akan berakhir di penjara," demikian kira-kira ancaman Adi lewat telepon.

Cerita di atas bukanlah sebuah fiksi karena benar-benar terjadi di dunia nyata. Tepatnya di Jakarta dimana persaingan profesi hukum demikian keras dan pengacara akan memanfaatkan celah sekecil apa pun untuk menjatuhkan pihak lawan demi memenangkan perkara. Adi, satu dari ribuan pengacara yang mengais rezeki di Ibukota tentu tidak akan menyia-nyiakan celah besar yang menganga di pihak lawan: advokat yang berpraktek tanpa izin.

Khusus bagi orang-orang yang menggeluti profesi hukum, tahun 2004 akan membawa atmosfir yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi penyebabnya kalau bukan hadirnya Undang-undang Advokat. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan yang pada 5 April 2003 ini mengantarkan banyak perubahan besar bagi kalangan profesi hukum, lebih dari sekadar penyeragaman istilah.

Namun demikian, dari sekian banyak masalah yang diatur dalam Undang-undang Advokat (UUA), pasal yang paling sering dibicarakan adalah soal ketentuan pidana bagi advokat "aspal", asli tapi palsu. UUA memang tidak main-main dalam menetapkan sanksi pidana bagi advokat aspal ini karena ancaman pidananya lima tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Cukup menakutkan sekalipun bagi para advokat yang sehari-hari berurusan dengan polisi atau petugas penjara. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: