KPPU Hentikan Pemeriksaan Terhadap 21 Cineplex
Berita

KPPU Hentikan Pemeriksaan Terhadap 21 Cineplex

Laporan Blitz dinilai tidak lengkap dan tidak jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2006.

Mon
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. (Foto: Sgp)
Gedung KPPU. (Foto: Sgp)

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghentikan pemeriksaan dugaan monopoli distribusi film yang dilaporkan PT Graha Layar Prima, pengelola bioskop Blitzmegaplex. Laporan terhadap Group 21 Cineplex itu dinilai tidak lengkap dan tidak jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Komisi (Perkom) No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. “Yang tidak ditemukan KPPU adalah cara atau kegiatan yang diduga dilanggar oleh pelapor,” kata Kepala Biro Humas KPPU, A. Junaidi saat dihubungi via telepon, Selasa (20/10).

Pasal 15 ayat (3) berintikan, resume laporan harus memuat uraian yang menjelaskan: (a) identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran; (b) perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar; (c) cara perjanjian dan/atau kegiatan usaha yang dilakukan atau dampak perjanjian dan/atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen dan/atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran dan; (d) ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar.  

Junaidi menjelaskan ada 13 pelaku usaha yang dilaporkan dan ada delapan pasal yang dituduhkan. Masing-masing terlapor punya peran sendiri, ada produser, distributor, pengusaha bioskopnya. Secara umum, isu sederhananya yakni adanya laporan penghambatan supply copy film nasional dari upstream pada pelaku usaha jaringan bioskop.

Nah, setelah ditelusuri, mandeknya supply film nasional itu bukan disebabkan karena ada monopoli atau posisi dominan 21 Cineplex. Produser flim-lah yang enggan menyerahkan filmnya kepada Blitz. “Bukan upaya sistematis untuk menghambat yang dilakukan pengusaha yang lain,” kata Junaidi. Produser film menilai sasaran Blitz konsumen kelas menengah ke atas (high level). Dengan begitu, dilihat dari potensi pasar pemutaran film nasional di Blitz tidak marketable.

Selain itu, dilihat dari jumlah, produsen yang enggan bekerja sama dengan Blitz hanya 6 dari sekitar 60 produser film di Indonesia. Masih ada copy film nasional yang bisa didistribusikan sehingga tidak sepenuhnya terblok. Contohnya film Laskar Pelangi. “Jadi kami melihat penyebabnya adalah proses perdata dimana tidak ada kesepakatan,” ujar Junaidi.

Kuasa hukum Blitz, Wahyuni Bahar menyatakan belum bisa berkomentar atas keputusan KPPU. “Belum dapat pemberitahuan resmi,” ujarnya. Menurut dia, dilihat dari jumlah produser yang menghambat distribusi film memang sedikit. Hanya, diduga produser film itu terafiliasi dengan 21 Cineplex. Lagipula, meski sedikit, jumlah produksi fllm yang dihasilkannya malah banyak. Sementara jumlah film yang dihasilkan produser terlapor lebih kecil. Wahyuni menganalogikan jumlah bioskop, tapi jumlah pemilik bioskop sedikit. “Kalau mekanisme KPPU, akan dipikirkan cara lain,” imbuhnya.

Yang jelas, penghentian pemeriksaan perkara ini cukup mengejutkan. Sebab, sehari sebelumnya, Senin (19/10), Tim Kuasa Hukum Blitz baru menyerahkan tanggapan atas tawaran ‘mediasi’ yang digagas KPPU. Memang upaya yang diusung KPPU ini agak unik. Sebab, upaya mediasi tidak dikenal dalam Perkom No. 1/2006.

Seperti diberitakan sebelumnya, Blitz melaporkan PT Nusantara Sejahtera Raya, pengelola Bioskop 21 Cineplex sebagai terlapor I. Laporan diajukan pada 5 Juni 2009. Beberapa distributor film yang dilaporkan merupakan perusahaan penyalur film yang terafiliasi dengan 21 Cineplex terkait dengan kepemilikan saham. Sedangkan produsen film yang dilaporkan memiliki hubungan istimewa dengan 21 Cineplex lantaran menjadi pengurus di perusahaan yang terafiliasi dengan 21 Cineplex.

Para terlapor diduga melakukan pelanggaran delapan pasal UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal yang diduga dilanggar adalah Pasal 25, 19, 17, 18, 24, 15, 26 dan 27. Pasal 25, 26 dan 27 tentang posisi dominan. Sedangkan Pasal 17, 18 dan 19 tentang monopoli, monopsoni dan penguasaan pasar. Sementara Pasal 15 mengatur tentang perjanjian tertutup.

Dugaan kecurangan bisnis itu muncul lantaran Blitz tak bisa menayangkan film nasional gara-gara ada ‘boikot’, baik dari pesaing maupun produsen film. Sumber hukumonline menyatakan ada silent embargo atas Blitz. Tahun 2007, hanya 19 persen film Indonesia yang ditayangkan Blitz. Tahun 2008, pemutaran film Indonesia di Blitz meningkat menjadi 21 persen. Hingga Mei 2009, prosentasenya makin menanjak hingga 33 persen.

Produsen film enggan menyalurkan filmnya ke Blitz lantaran takut tak bisa tayang di bioskop lain. Padahal Blitz menawarkan tawaran menarik terkait pembagian keuntungan pemutaran film. Yakni dengan bagi hasil 70 persen untuk produsen film, dan 30 persen film dari hasil penjualan tiket. Selain itu, Blitz juga menawarkan pembelian copy film terlebih dahulu namun tawaran ini tetap tak laku.

Perbandingan jumlah produsen film dan bioskop yang tak seimbang makin memicu dugaan kecurangan bisnis penayangan film. Saat ini diperkirakan jumlah produsen film di Indonesia lebih dari seratus. Sementara, jumlah bioskop yang tersebar di Indonesia terbatas. Ditambah lagi, 70 persen jumlah layar bioskop maupun bioskop dikuasai oleh 21 Cineplex.

Bagi produsen film yang memiliki kedekatan dengan 21 Cineplex, bisa mendapat keistimewaan dengan mendapatkan pemutaran film saat kondisi ramai (peak season), seperti hari libur sekolah, malam minggu dan libur hari kejepit. Sementara bioskop yang ‘main mata’ dengan Blitz, bisa-bisa filmnya tak diputar. Bisa pula diputar tapi hanya sebentar. Padahal penayangan perdana (first run) akan menentukan laris tidaknya sebuah film.

Posisi dominan 21 Cineplex bisa berakibat film alternatif (tidak mainstream) tak punya tempat. Padahal masyarakat juga memerlukan film yang berkualitas tak sekedar menghibur dan sesuai selera pasar.

Laporan Blitz ini juga dilakukan untuk mendorong Departemen Kebudayaan dan Pariwisata segera membuat aturan tentang distribusi film, sehingga bisnis permilman bisa lebih berwarna dan lebih kompetitif. Distribusi film yang merata akan menguntungkan bagi produsen film dan bioskop sendiri. Imbas lainnya, masyarakat bisa mendapatkan tiket bioskop murah. Sejak Blitz muncul, 21 Cinpelex sendiri terhitung beberapa kali menurunkan harga tiket bioskop.

Tags:

Berita Terkait