Jalan Pintas Pemerintah Melepaskan Subsidi Listrik
Berita

Jalan Pintas Pemerintah Melepaskan Subsidi Listrik

Serikat Pekerja PT PLN Persero menilai UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan melegitimasi upaya pemerintah melepaskan tanggung jawab kepada swasta dan pemerintah daerah.

IHW
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian UU Ketanagalistrikan di Mahkamah Konstitusi. <br> Foto: Sgp
Sidang pengujian UU Ketanagalistrikan di Mahkamah Konstitusi. <br> Foto: Sgp

“Visi pemerintah kita sudah kapitalis. Bukan kerakyatan lagi,” tuding Ketua Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Ahmad Daryoko, usai sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/12). Bertindak untuk dan atas nama Serikat Pekerja, Daryoko memang mengajukan pengujian UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

 

Setidaknya ada sembilan pasal yang diuji, yaitu Pasal 10 Ayat (2), Pasal 10 Ayat (3), Pasal 10 Ayat (4), Pasal 11 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (4), Pasal 20, Pasal 33 Ayat (1), Pasal 33 Ayat (2), Pasal 56 Ayat (1), Pasal 56 Ayat (2) dan Pasal 56 Ayat (3).

 

Kesembilan pasal itu, lanjut Daryoko, sebenarnya hanya jalan pintas yang diambil pemerintah untuk tak lagi dipusingkan oleh beban subsidi listrik yang terus meroket tiap tahunnya. Sebagai contoh ia menyebutkan, pada tahun 2004 pemerintah harus menanggung subsidi listrik sebesar Rp3,5 triliun. Angka itu meningkat berpuluh kali lipat menjadi Rp78,6 triliun pada 2008. “Pemerintah cari cara mudahnya saja.”

 

Untuk mewujudkan pelepasan tanggung jawab itu, UU Ketenagalistrikan memberikan celah dengan cara memecah usaha penyediaan tenaga listrik menjadi empat jenis usaha. Keempat jenis usaha itu adalah, pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik dan penjualan tenaga listrik. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. “Pemisahan empat fungsi ini disebut unbundling vertical,” jelas Daryoko. Unbundling ini kedepan dapat menghancurkan ‘kekuasaan’ PLN sebagai perusahaan negara yang melayani kebutuhan listrik masyarakat.

 

Selain unbundling vertical, lanjut Daryoko, UU Ketenagalistrikan juga mengatur tentang unbundling horizontal alias pemecahan wilayah dalam hal usaha penyediaan tenaga listrik. Adanya pemecahan wilayah ini memungkinkan adanya perbedaan tarif listrik antara satu wilayah dengan wilayah lain.

 

“Dua paket unbundling itu pada akhirnya bertujuan untuk memprivatisasi listrik di negeri ini.” Dengan begitu, ke depan urusan listrik tak lagi berada di pundak pemerintah. Melainkan di tangan pemerintah daerah dan swasta. Dengan demikian, pemohon menilai bahwa kesembilan Pasal itu bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945  yang menyatakan Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait