Jumlah Kasus Pelanggaran Hak Berserikat Terus Bertambah
Berita

Jumlah Kasus Pelanggaran Hak Berserikat Terus Bertambah

Tak hanya bertambah, pelanggaran hak berserikat juga merambah ke beberapa sektor industri.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Pelanggaran hak berserikat juga merambah hingga ke BUMN. <br> Foto: Sgp
Pelanggaran hak berserikat juga merambah hingga ke BUMN. <br> Foto: Sgp

Luar pagar gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta 20 Mei 2009. Saat itu, ratusan buruh masih terus berdemonstrasi meski dibawah guyuran hujan. Mereka menuntut MA konsisten menegakkan UU No 20 Tahun 2001 tentang Serikat Pekerja. Konkretnya, mereka mendesak MA untuk menjatuhkan putusan yang tepat dalam perkara pidana yang menyeret General Manager PT King Jim, Fathoni Prawata sebagai terdakwa.

 

Upaya para buruh membuahkan hasil. MA akhirnya menolak kasasi Fathoni dan tetap menyatakan Fathoni bersalah dan menghukumnya dengan hukuman penjara dan denda. Untuk mengingatkan, Fathoni ditetapkan sebagai terdakwa karena menghalangi hak berserikat para buruh PT King Jim. Ia dijerat dengan Pasal 43 Jo Pasal 28 UU Serikat Pekerja. Pasal 28 memuat larangan menghalang-halangi hak berserikat para buruh. Sementara Pasal 43 mengatur ancaman pidananya.

 

Sayangnya, ancaman sanksi dan putusan MA itu tak berbanding lurus dengan perlindungan hak buruh untuk berserikat. Di penghujung tahun ini saja tercatat ada 29 kasus penghalang-halangan hak berserikat (anti union). Bahkan kasus anti union itu kini tak hanya menimpa para buruh di pabrik. Melainkan merambah ke beberapa sektor industri seperti manufaktur, perusahaan media dan bahkan BUMN. Demikian pandangan Koordinator Komite Solidaritas Nasional (KSN) –aliansi beberapa serikat buruh dan pemerhati perburuhan- Anwar Ma’ruf.

 

Untuk anti union di perusahaan media, tercatat ada kasus pemutusan hubungan kerja terhadap wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono. Di sektor BUMN, ada kasus PHK pengurus Serikat Pegawai Bank Mandiri dan skorsing terhadap pengurus Serikat Pekerja PT Angkasa Pura I. “Sebenarnya masih banyak kasus yang belum masuk dan belum terdata dari daerah,” kata pria yang akrab disapa Sastro itu, Senin (21/12). 

 

Sedikitnya, kata Sastro, ada 24 pola union busting yang kerap terjadi. Diantaranya, menghalangi-halangi buruh membentuk serikat, intimidasi, memutasi pengurus serikat, melayangkan surat peringatan, skorsing hingga PHK, membentuk serikat tandingan, kriminalisasi dan mengubah status dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak. Padahal semua modus itu telah dilarang oleh Pasal 28 UU Serikat Pekerja.

 

Menurut Sastro, maraknya fenomena union busting lantaran ‘mandulnya’ fungsi pengawasan yang melekat pada pegawai pengawas ketenagakerjaan dan aparat penegak hukum. “Sampai hari ini misalnya ketika ada permasalahan pemberangusan serikat dan dilaporkan ke kepolisian atau PPNS Disnakertrans/Sudinakertrans, mereka tak menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik.”

Tags:

Berita Terkait