Terkait ACFTA, Mendag Bantah akan Terjadi PHK Massal
Berita

Terkait ACFTA, Mendag Bantah akan Terjadi PHK Massal

Pemeritah akan membentuk tim antisipasi untuk meningkatkan efektifitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan, pengamanan peredaran perdagangan dalam negeri, dan mempromosikan produk dalam negeri.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Mendag Mari Elka Pangestu akhir-akhir ini disibukan dengan <br> pemberitaan AFCTA. Foto: Sgp
Mendag Mari Elka Pangestu akhir-akhir ini disibukan dengan <br> pemberitaan AFCTA. Foto: Sgp

Kerisauan para pengusaha akan dampak dari diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dijawab Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu. Mendag menegaskan, tidak akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran akibat pemberlakuan ACFTA. Menurutnya, hal itu hanya kekhawatiran berlebihan yang juga terjadi saat krisis keuangan melanda pada akhir 2008 lalu.

Mari menjelaskan, krisis yang menyebabkan kinerja ekspor merosot di tahun 2008, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya PHK besar-besaran. Namun, katanya, kekhawatiran itu surut lantaran ada stimulus dan langkah-langkah antisipasi dari pemerintah. Begitu pun dengan ACFTA. Pemerintah tengah menyiapkan beberapa strategi, termasuk pembentukan tim antisipasi yang beranggotakan lintas departemen. “Posisi pemerintah jelas, akan tetap melaksanakan komitmen internasional. Tetapi di lain pihak, melakukan sepaket langkah antisipasi,” ujarnya saat konferensi pers di Departemen Perdagangan, Selasa (5/1).

Dikatakan Mari, Tim antisipasi ACFTA akan menyelesaikan setiap hambatan yang dihadapi industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing. Optimalisasi penguatan pasar ekspor juga dilakukan, selain meningkatkan pengamanan pasar dalam negeri dari impor tidak resmi dan persaingan tidak adil. Disamping itu, pemerintah akan mengambil langkah peningkatan pengawasan barang beredar dan memperkuat SKA (Surat Keterangan Asal).

Meski menuai kritik dari berbagai kalangan, Mari mengakui, ACFTA akan memberikan banyak manfaat bagi ekspor dan investasi Indonesia. “Sejak berlaku tahun 2004. Banyak sektor yang memanfaatkan FTA ini,” katanya. Sebagai contoh dapat dilihat dari ekspor komoditi, seperti minyak kelapa sawit (CPO), kakao, gelas, dan beberapa garmen yang mengalami peningkatan akibat adanya ACFTA.

”Jadi, jangan dilihat neraca perdagangan saja. Sebab, ternyata kita juga impor bahan baku dari China seperti komponen dan mesin untuk industri dalam negeri,” urainya. Kendati demikian, ia mengakui ada beberapa sektor industri yang diyatakan masih menyimpan masalah, karena pemberlakuan ACFTA. Untuk itu, sambungnya, pemerintah telah mengirimkan notifikasi kepada seluruh negara Asean dan China atas keberatan tersebut.

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan, pemerintah akan membentuk tim penyelesaian hambatan industri dan perdagangan yang beranggotakan kementerian lintas departemen dan perwakilan dunia usaha. Tim ini akan menjalankan beberapa tugas, di antaranya meningkatkan efektifitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan, pengamanan peredaran perdagangan dalam negeri, dan mempromosikan produk dalam negeri.

Pengamanan peredaran perdagangan dalam negeri dilakukan dengan memperkuat ketentuan pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI), standar kesehatan, keamanan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan perlindungan konsumen lainnya seperti labeling dan manual berbahasa Indonesia. Serta, mengantisipasi adanya unfair trade practise, seperti dumping, countervailing duty, safeguard, dan memperkuat Surat Keterangan Asal (SKA).

Revisi Tarif
Bukan hanya membuat tim antisipasi, menurut Hatta Radjasa, pemerintah juga akan merenegosiasi sebanyak 314 pos tarif dari delapan industri, direvisi menjadi 228 pos tarif dari 11 industri. Sebanyak 228 pos tarif itu mencakup sektor industri baja dan besi, tekstil dan produk tekstil, elektronika, kimia anorganik dasar, petrokimia, furniture, alas kaki, produk industri kecil, permesinan, kosmetika dan jamu.

Perubahan yang akan diusulkan adalah, 146 diusulkan dari Normal Track (NT) 1 (tarif 0 persen pada 2010) menjadi NT 2 (tarif 0 persen pada 2012), 60 pos tarif NT1 menjadi Sensitive List (SL, tarif 0-5 persen pada 2018), serta 22 pos tarif yang sudah nol persen pada 2009 dinaikkan menjadi 5 persen dan masuk dalam SL.

Sementara, sebanyak 153 pos tarif disiapkan sebagai kompensasi agar 228 pos tarif bisa dinegosiasi ulang. Pengajuan 153 pos tarif yang akan dikorbankan sebagai kompensasi ini berdasar perhitungan bahwa industri tersebut cukup kuat.

Industri yang akan dikorbankan untuk kompensasi antara lain industri besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, elektronika, kimia hulu, kimia hilir, mainan, alas kaki dan perlengkapan olah raga. Industri yang terbanyak dari industri baja dan tekstil serta produknya.

Bentuk kompensasi antara lain sebanyak 56 pos tarif katagori NT 2 yang seharusnya akan 0 persen pada tahun 2012, dimasukan ke dalam kategori NT 1 yaitu 0 persen pada 2010. Sebanyak 16 pos tarif katagori SL, yang seharusnya akan 0-5 persen pada tahun 2018, dimasukan ke dalam kategori NT 1 yaitu 0 persen pada tahun 2010.

Sebanyak 50 pos tarif katagori SL, yang seharusnya akan 0-5 persen pada tahun 2018, dimasukan ke dalam katagori NT 2 yaitu 0 persen pada tahun 2012. Sebanyak 4 pos tarif katagori Highly Sensitive List (HSL), yang seharusnya akan 0-5 persen pada tahun 2020, dimasukan ke dalam katagori SL yaitu pada 2018. Sedangkan sebanyak 27 pos tarif katagori HSL yang seharusnya akan 0-5 persen pada tahun 2020, dimasukan ke dalam katagori NT 2 yaitu 0 persen pada tahun 2012.

Disambut Baik
Sementara itu, DPR menyambut baik sikap pemerintah yang mengajukan penundaan terhadap 314 pos tarif. Berdasarkan rekomendasi Komisi VI, DPR telah mengirim surat yang ditandatangani ketua DPR kepada Presiden pada tanggal 15 Desember 2009 No. PW017/760/DPR RI/XII/2009 yang isinya tentang rekomendasi penundaan ACFTA.

”Kalangan dewan berpendapat agar pemerintah melakukan renegosiasi agreement pelaksanaan ACFTA dengan mempertimbangkan faktor kesiapan Indonesia. Khususnya dalam faktor industri, daya saing, kapasitas dan trend trade balance, kesimbangan hulu dan hilir, serta kebijakan makro industri lainnya yang belum siap,” kata Ketua DPR Marzuki Alie pada sidang paripurna, Senin (4/1) lalu.

Walaupun terbuka peluang untuk mengajukan keberatan atau menunda pelaksanaannya, kata Marzuki, pemerintah harus tetap membenahi iklim usaha terutama terkait dengan penataan ekonomi biaya tinggi dan memperbaiki strategi kebijakan yang mendukung kegiatan bisnis, sehingga produk Indonesia mampu bersaing dengan produk China. “Persaingan bisnis dengan China memang sulit, tetapi Indonesia harus berusaha agar hubungan perdagangan antara China dan Indonesia tetap harus berjalan baik,” ujarnya.

Selain itu, DPR mengharapkan kiranya RUU tentang Perdagangan dan RUU Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang telah masuk dalam prolegnas harus dipacu penyelesaiannya, mengingat barbagai permasalahan yang muncul di dalam era globalisasi ini, terutama kaitannya dengan ACFTA.

Tags:

Berita Terkait