Lindungi Penyandang Cacat dalam Layanan Perbankan
Berita

Lindungi Penyandang Cacat dalam Layanan Perbankan

Kebijakan setiap bank dalam melayani nasabah penyandang cacat berbeda-beda. Cukup dengan pendamping atau harus melalui kuasa jika ingin mencairkan rekening?

Mys/CR-7/Rzk/Sut
Bacaan 2 Menit
Lindungi Penyandang Cacat dalam Layanan Perbankan
Hukumonline

Sejumlah pemangku kepentingan diketahui kini tengah menggagas regulasi pelayanan perbankan yang sama bagi penyandang cacat, khususnya cacat netra. Tujuannya, agar seorang difabel tak mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kesulitan saat membuka rekening di bank pilihannya. Sebuah diskusi fokus terbatas sudah digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bulan lalu, dan menurut rencana dilanjutkan bulan ini.

 

Komnas HAM memang sudah menerima keluhan dari penyandang cacat tentang layanan perbankan. Hamzah, seorang warga Sulawesi Selatan, dipersulit ketika mau mengurus rekeningnya di sebuah bank swasta. Pihak bank memaksa Hamzah membawa pendamping. Kalau tidak, ia harus membuat surat kuasa notariil. Hamzah mengeluh karena harus mengeluarkan biaya lagi ke notaris. “Para penyandang cacat mengeluh,” kata Yoseph Adi Prasetyo, komisioner Komnas HAM.

 

Pengalaman lain diceritakan Sugianto Sulaiman. Penyandang cacat netra yang berprofesi sebagai advokat ini awalnya ditolak ketika hendak membuka rekening. Pihak bank beralasan, calon nasabah akan kesulitan mengontrol rekening karena tidak bisa langsung melihat pembukuan. Sugianto mencoba ke bank swasta lain, dan diterima meski dengan syarat. Bahkan customer service bank swasta ini memandu Sugianto mengisi formulir. Pihak bank hanya mengajukan syarat, tanggung jawab atas rekening ada di tangan nasabah.  

 

Penyandang tuna netra memang tak mungkin memastikan sendiri angka yang tertera dalam buku rekeningnya. Ia juga tidak tahu apakah jumlah uang yang disetorkan sama dengan yang tertulis di buku. Syukur-syukur kalau teller bank memandu dan membacakan status buku tabungan tersebut kepada nasabah. Yang terjadi, kata Stanley – nama panggilan akrab Yoseph Adi Prasetyo—sikap bank berbeda-beda dalam melayani nasabah difabel. Stanley menduga ada praktik diskriminasi.

 

Dirjen Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo sangat menyayangkan jika benar terjadi diskriminasi dalam pelayanan perbankan. Semua orang setara di depan hukum, sehingga dalam layanan perbankan pun penyandang cacat wajib dilayani. “Tidak ada alasan mereka tidak dilayani,” tandas Harkristuti.

 

Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo juga sudah mencium praktik diskriminatif dalam layanan perbankan kepada kaum difabel. Salah satunya, bank menempatkan penyandang cacat sama dengan orang dalam status pengampuan jika hendak membuka rekening. “Pengampuan kan untuk orang gila dan di bawah umur. Masa orang tuna netra disamakan dengan orang gila?” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait