Imunitas Hakim Hambat Pemberantasan Korupsi
Utama

Imunitas Hakim Hambat Pemberantasan Korupsi

Hakim adalah manusia yang bisa berbuat salah, maka harus ada kewenangan yang bisa mengkontrol hakim agar tidak berbuat salah.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Advokat OC Kaligis mengeluhkan adanya imunitas hakim.<br>Foto: Sgp
Advokat OC Kaligis mengeluhkan adanya imunitas hakim.<br>Foto: Sgp

Advokat Senior Otto Cornelis Kaligis memang sering mendampingi tersangka atau terdakwa dalam kasus korupsi. Sejumlah koruptor pernah merasakan dibela Kaligis, misalnya Aulia Pohan dan Anggodo Widjojo. Namun, bukan berarti Kaligis tak ingin negeri ini bebas dari korupsi. Ia mengungkapkan beberapa faktor yang menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

 

“Salah satu faktornya adalah adanya hak imunitas bagi para hakim terhadap putusan yang dibuatnya,” ujar Kaligis ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh United Nations Office on Drugs and Crime di Jakarta, Rabu (27/4).

 

Kaligis menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 9 Tahun 1976 yang menyatakan hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata.

 

Padahal, dalam BAB XXVIII KUHP, diatur secara khusus kejahatan yang dilakukan dalam jabatan seorang pejabat publik. “Hakim, jaksa, dan polisi kan termasuk sebagai pejabat publik,” ujar Kaligis. Namun, upaya menjerat hakim nakal yang bermain-main dengan putusannya menjadi sulit dengan hadirnya SEMA tersebut.

 

Kaligis mengungkapkan modus para hakim yang melakukan abuse of power tapi tak bisa dipidana karena adanya SEMA itu. Salah satunya adalah pengabaian bukti yang ditemukan dalam persidangan. Padahal dalam Pasal 185 KUHAP, lanjutnya, bukti yang ada di persidangan adalah bukti yang valid.

 

“Dalam praktik sering terjadi pengingkaran terhadap bukti yang ada di persidangan. Hakim kerap tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan. Misalnya, dalam kasus Antasari, Aulia Pohan, dan Rusli Simanjuntak,” jelas Kaligis lagi.

 

Kaligis juga menceritakan kasus lain ketika mendampingi kliennya yang didzalimi oleh putusan hakim. Yakni, Rustandi Yusuf sebagai pemilik Hotel Aston di Tanjung Benoa, Bali yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. “Dia dinyatakan pailit atas permohonan satu kreditur. Padahal UU Kepailitan menyaratkan minimal harus ada permintaan dua kreditur,” tandasnya.

 

Hati Nurani

Kabareskrim Mabes Polri Ito Sumardi menyatakan hakim adalah manusia yang bisa berbuat salah. Menurutnya, harus ada kewenangan yang bisa mengkontrol hakim agar tidak berbuat salah. Selama ini, lanjutnya, memang ada Komisi Yudisial (KY) yang berwenang mengawasi hakim.

 

Namun, kewenangan KY itu hanya sebatas pelanggaran kode etik. Apalagi, KY tak bisa memeriksa materi perkara. “Kalau persoalannya sudah masuk materi perkara, ini yang sulit,” ujarnya. Pasalnya, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, hakim memutus perkara berdasarkan fakta dan hati nurani. Faktor hati nurani ini yang sulit untuk diukur.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, diskusi seputar permintaan tanggung jawab hukum kepada hakim terhadap putusan yang dibuatnya ini bukan hal yang baru. Sebelumnya, Profesor Hukum dari Universitas Utrecht Belanda A.W. Jongbloed menyebut konsep ini sebagai konsep Judicial Liability.

 

Konsep ini sudah diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Seorang hakim bisa dimintai ganti rugi bila putusannya terbukti salah dan merugikan pihak yang berperkara. Jongbloed menganjurkan agar konsep pertanggungjawaban personal hakim ini juga dianut oleh Indonesia.

Tags: