UU MK Teranyar Larang Ultra Petita
Berita

UU MK Teranyar Larang Ultra Petita

Pengamat khawatir larangan itu akan menghambat MK menegakkan keadilan substantif.

Ali
Bacaan 2 Menit
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. DPR dan pemerintah<br> setujui RUU MK. Foto: Sgp
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. DPR dan pemerintah<br> setujui RUU MK. Foto: Sgp

Revisi UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya rampung. Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar telah menyetujui RUU MK itu dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama. RUU ini tinggal dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

 

Patrialis menuturkan ada beberapa pasal dalam undang-undang yang baru disetujui ini adalah pembatasan untuk MK. Salah satunya, adalah larangan bagi MK untuk membuat putusan ultra petita, atau putusan yang melebihi apa yang diminta oleh pemohon dalam permohonannya. 

 

“Putusan ultra petita tidak boleh dilakukan berdasarkan RUU MK ini,” ujar Patrialis usai rapat dengan Baleg di Gedung DPR, Selasa (14/6).

 

Ketentuan yang melarang putusan ultra petita itu terdapat dalam Pasal 45A, yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.

 

Patrialis mengatakan MK hanya boleh memutus perkara berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon. “Kita harus membatasi kewenangan MK,” ujar mantan Anggota Komisi III DPR ini. 

 

Sekedar mengingatkan, berdasarkan catatan hukumonline, salah satu putusan MK yang ultra petita adalah dalam pengujian UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Saat itu, pemohon hanya menguji tiga pasal, tetapi majelis hakim konstitusi justru membatalkan seluruh isi UU KKR itu.

 

Lalu, bagaimana bila hakim konstitusi tetap membuat putusan ultra petita? Patrialis menuturkan bahwa memang tidak ada sanksi dalam UU MK yang baru disetujui ini. Hakim konstitusi baru bisa dibawa ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH) bila ada pelanggaran kode etik. “Ya, kalau tetap ultra petita, sikap kenegarawanannya akan dipertanyakan,” ujarnya.

 

Patrialis menambahkan UU MK ini bertujuan meluruskan MK kembali sebagai negative legislator. Yakni, hanya berwenang menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Bukan menambah norma baru dalam undang-undang. “Kami tak mau MK melakukan Legislative Review, itu kewenangan DPR dan Pemerintah,” ujarnya.

 

Karenanya, dalam UU MK, ada pasal yang menyatakan bila dianggap perlu DPR dan Pemerintah diharapkan segera menindaklanjuti putusan MK untuk merevisi undang-undang terkait. Pasal 59 ayat (2) menyatakan Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau presiden segera menindaklanjuti putusan MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan’.

 

Keadilan Substantif

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menyayangkan dimasukannya larangan ultra petita bagi para hakim konstitusi ini. Ia menilai ultra petita hanya dikenal dalam hukum acara perdata, bukan dalam pengujian UU seperti yang ada di MK. “Jelas ranah hukumnya berbeda, jadi tak bisa disamakan dengan hukum acara perdata,” ujarnya.

 

Firman –sapaan akrabnya- khawatir bila adanya pencantuman larangan ini akan mempengaruhi independensi hakim. Apalagi, ada pasal-pasal dalam UU yang berkaitan satu sama lain, sehingga bila satu pasal dinyatakan batal maka pasal lainnya akan kehilangan arti.

 

Selain itu, Firman khawatir bila larangan ini akan mengebiri kampanye MK dalam menegakkan keadilan substantif. “Ini jelas akan menjadi hambatan. Hakim bisa sulit menegakan keadilan substantif lagi,” tuturnya. Karenanya, Firman menilai ketentuan ini sangat potensial untuk diajukan judicial review ke MK.

Tags: