Yurisprudensi Dipersoalkan ke MK
Berita

Yurisprudensi Dipersoalkan ke MK

Pemohon meminta Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP konstitusional.

ASh
Bacaan 2 Menit
Yurisprudensi dipersoalkan ke MK. Foto: SGP
Yurisprudensi dipersoalkan ke MK. Foto: SGP

Lewat kuasa hukumnya, Gubernur Bengkulu non-aktif Agusrin M Najamudin menguji efektivitas berlakunya Pasal 67 dan Pasal 244 UU No 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi.

 

Pengujian undang-undang ini dikaitkan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) No K/275/Pid/1983 yang membolehkan putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi. Sebab, meski Pasal 244 KUHAP menyatakan putusan bebas tak bisa diajukan upaya kasasi, dalam praktiknya setiap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi lantaran merujuk pada yurisprudensi itu.

 

Seperti kasus yang menimpa Agusrin yang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Mei 2011 lalu terkait kasus korupsi dana perimbangan khusus bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Provinsi Bengkulu Tahun 2006. Kini, jaksa tengah mengajukan kasasi dengan mengacu pada yurisprudensi itu. Kasus serupa juga menimpa Prita Mulyasari yang sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang, namun divonis bersalah di tingkat kasasi.

 

"Seharusnya sesuai Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, putusan bebas itu sudah selesai (final) karena tidak bisa diajukan banding atau kasasi. Alasan penuntut umum (kasus Agusrin) mengajukan kasasi terhadap putusan bebas didasarkan yurisprudensi MA," kata kuasa hukum Agusrin, Prof Yusril Ihza Mahendra dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK Jakarta, Jum'at (9/9).

 

Yusril menegaskan dari kasus itu, pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, kepastian hukum atas aturan putusan bebas yang tidak bisa diajukan banding atau kasasi menjadi hilang.     

 

“Kita memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP merupakan ketentuan yang jelas/terang dan konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, kalau pasal itu konstitusional berarti yurisprudensinya yang tidak sah,” bebernya.

 

Ia menjelaskan implementasi Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP mengalami pergeseran sejak terbitnya Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam keputusan itu, Menteri Kehakiman Ali Said menyatakan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dapat diajukan banding. Namun, berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan, kebenaran terhadap putsuan bebas dapat diajukan kasasi.

 

"Lima hari sejak Kepmenkeh itu terbit, lahirlah yurisprudensi tetap MA No K/275/Pid/1983 yang mengabulkan permohonan kasasi jaksa dan menghukum Direktur Kredit Bank Bumi Daya Raden Sonson Natalegawa selama 2,5 tahun penjara dalam perkara korupsi yang sebelumnya divonis bebas oleh PN Jakpus pada 10 Februari 1982," jelasnya.

 

Sejak terbitnya putusan MA yang dipimpin hakim agung Adi Andojo itu, kata Yusril, terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan alasan MA dapat melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pengadilan di bawahnya untuk menilai apakah putusan bebas itu tergolong putusan bebas murni (zuiver vrispraak) atau tidak bebas murni (verkapte vrijspraak).

 

"Kalau disimpulkan bebas murni, maka permohonan kasasi akan ditolak sesuai tafsir Pasal 244 KUHAP. Tetapi jika tidak bebas murni kasasi akan diterima dan selanjutnya mengadili sendiri dengan memutus perkara itu,"

 

Persoalannya, lanjut Yusril, apakah MK dapat menguji yurisruprudensi karena bukan termasuk hierarki peraturan perundang-undangan, melainkan sumber hukum jika norma undang-undang tidak memberikan pengaturan atau samar-samar. Sebab, dalam praktik yurisprudensi MA itu mengeser/mengesampingkan atau bahkan meniadakan norma undang-undang positif yang berlaku.   

 

"Tetapi kami berpendapat MK dapat menguji yurisprudensi karena MK Jerman dan Korea pernah memutus atas pengujian yurisprudensi MA ini (constitutional complaint). Masak persoalan ini akan dibiarkan terus-menerus, hukum kita akan terus kacau, tak ada kepastian hukum, seharusnya MK berani mengadili,” harapnya.      

 

Hakim ketua panel hakim konstitusi Achmad Sodiki menilai permohonan tidak lazim yang berbeda dengan permohonan pada umumnya. "Permohonan ini materinya agak berbeda karena pemohon malah meminta Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP konstitusional yang biasanya suatu pasal merugikan pemohon dan minta dibatalkan, ini hal baru,” kata Sodiki.

 

Muhammad Alim mengatakan MK Jerman berwenang membatalkan yurisprudensi MA. “Tetapi di sini tidak bisa, mungkin ini bisa sedikit diubah permohonan agar lebih tepat, permohonan ini terkendala dengan kewenangan MK,” kata Alim. 

Tags: