Ratifikasi Statuta Roma Masih Butuh Waktu
Berita

Ratifikasi Statuta Roma Masih Butuh Waktu

UU Pengadilan HAM dianggap sebagai produk yang kontradiktif, karena menginterpretasikan Statuta Roma secara serampangan.

Hot (HOLE)
Bacaan 2 Menit
Ratifikasi Statuta Roma Masih Butuh Waktu
Hukumonline

The Rome Statute of the International Criminal Court, telah berumur sembilan tahun sejak mulai efektif berlaku pada 1 Juli 2002. Perjanjian internasional yang populer dengan sebutan Rome Statute atau Statuta Roma, menjadi salah satu instrumen perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional.

 

Namun, memasuki tahun kesembilannya, masih ada beberapa negara demokrasi yang belum meratifikasi; bahkan belum menjadi negara penandatangan Statuta Roma. Salah satunya adalah Indonesia.

 

Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, hal ini tidak dirasa cukup untuk mencakup hal-hal penting dalam penegakan hak asasi manusia.

 

“UU Pengadilan HAM justru produk yang kontradiktif, karena merupakan interpretasi yang serampangan dari Statuta Roma,” ujar Bhatara Ibnu Reza, pengajar hukum internasional di Universitas Pelita Harapan, pada acara Media Workshop and Lobby Works on ICC, Jakarta (17/11).

 

Bhatara mengungkapkan beberapa poin penting yang menjadi kekurangan UU 26/2000. Pertama, mengenai unsur kejahatan kemanusiaan. Dalam Statuta Roma, Bhatara menjelaskan, salah satu unsur kejahatan kemanusiaan adalah direct attack terhadap penduduk sipil. Klausula ini dapat dilihat dalam Pasal 7 (2) (a) Statuta Roma yang menyatakan “Attack directed against any civilian population”.

 

“Sedangkan UU 26/2000 mencantumkan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Dalam kata lain, UU 26/2000 hanya mengarah pada pelaku di lapangan dan membiarkan perwira yang ada di tingkat atas,” tegas Bhatara. Ketentuan ini dapat dapat dilihat dalam Pasal 9 UU 26/2000.

 

Permasalahan kedua, menurut Bhatara, adalah pemahaman tentang pertanggungjawaban komando dalam UU 26/2000. Ketentuan ini, yang terdapat dalam Pasal 42 UU 26/2000 dapat ditafsirkan hanya sebatas dua level di atas komando lapangan. Padahal pertanggungjawaban komando tak selalu bersifat seperti itu, karena ada konsep yang lebih besar yang diterjemahkan melalui perintah dari perwira di level tinggi.

Tags: