Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP
Berita

Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP

Hakim melihat pada aspek kewenangan yang tak dimiliki terdakwa.

Mys
Bacaan 2 Menit
Sejumlah terdakwa korupsi di pemerintah beralasan jalankan perintah jabatan atau perintah atasan. Foto: SGP
Sejumlah terdakwa korupsi di pemerintah beralasan jalankan perintah jabatan atau perintah atasan. Foto: SGP

Sejumlah terdakwa perkara korupsi di instansi pemerintah beralasan mereka menjalankan perintah jabatan atau perintah atasan. Di Pengadilan Tipikor Jakarta misalnya, terdakwa Oentarto Sindung Mawardi berdalih pembuatan radiogram penyediaan mobil pemadam kebakaran kepada kepala daerah sebagai perintah jabatan. Mantan Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Amrun Daulay juga pernah mengajukan pledoi senada. Toh, Oentarto dan Amrun tetap divonis bersalah di tingkat pertama.
 

Para terdakwa korupsi, termasuk Ontarto dan Amrun, masih punya peluang bebas di tingkat yang lebih tinggi: banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). Peluang itu bukan sesuatu yang mustahil. Seperti yang dialami Syamsul Bahri bin Said Makkoaseng. Mahkamah Agung baru saja memublikasikan putusan perkara pria yang kelahiran 31 Desember itu melalui laman resmi Mahkamah.
 

Syamsul Bahri lolos dari jeratan pidana korupsi di tingkat PK. Majelis hakim agung dipimpin langsung Ketua MA, Harifin A. Tumpa, mengoreksi putusan majelis kasasi. Dua hakim lain Hj Rehngena Purba dan H. Dirwoto juga sepakat. Tak ada dissenting opinion. Putusan PK membuat terdakwa lolos dari kemungkinan penjara 1,5 tahun plus denda 50 juta rupiah dan ganti rugi 2,4 juta rupiah.
 

Argumentasi penting majelis hakim PK membebaskan Syamsul Bahri berkaitan dengan Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana. Perbuatan terdakwa membeli mobil ambulance dari dana bantuan untuk orang miskin dan menggunakan anggaran lain untuk perjalanan dinas bupati, tak bisa dikriminalisasi lantaran masuk lingkup Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana.
 

Pasal 51 KUHP dikenal sebagai klausul perintah jabatan (ambtelijk bevel). Sering digunakan sebagai alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa (exemption from liability). Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana menyebutkan “tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’.
 

Poin penting ayat ini adalah pemberian wewenang oleh pejabat yang berwenang. Jika perintah diberikan oleh pejabat yang tak berwenang, terdakwa tidak bisa menggunakan dalih ini untuk lolos dari jerat hukum. Kecuali ia bisa membuktikan adanya iktikad baik. Begitulah yang dirumuskan lebih lanjut pada ayat (2) pasal 51 KUHP.
 

Dalam kasus Syamsul Bahri, majelis PK melihat semua perbuatan terdakwa dilakukan atas perintah Bupati Jeneponto yang sah. Bupati memerintahkan terdakwa menyimpan buku rekening dana proyek Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PD PSE-BK) yang kemudian berubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan PKPS BBM-BK). Penggunaan anggaran bantuan orang miskin untuk pembelian ambulance juga atas perintah Bupati Jeneponto.
 

Tags:

Berita Terkait