Penerapan Pasal Pidana di UU Zakat Tidak Tepat
Berita

Penerapan Pasal Pidana di UU Zakat Tidak Tepat

Pemerintah dan DPR dinilai tidak memikirkan akibat dari implementasi pasal tersebut.

FNH
Bacaan 2 Menit
Penerapan Pasal Pidana di UU Zakat Tidak Tepat
Hukumonline

Sebagai sebuah produk politik, sudah sewajarnya jika undang-undang harus dikawal dan dikritisi oleh publik. Tidak terkecuali dengan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sejak disahkan di Rapat Paripurna DPR pada Oktober tahun lalu, undang-undang ini masih menuai kontroversi. Mereka menilai ada beberapa pasal dari  undang-undang ini yang tidak tepat dan akan memicu konflik, terutama Pasal 38.

Pasal 38 menyatakan, setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak sebagai amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.

Ketua Umum Forum Zakat Indonesia (FOZ), Sri Adi Bramasetia, menafsirkan pasal tersebut bahwa badan amil zakat yang tidak mendapatkan izin dari kementerian terkait untuk melakukan proses pengumpulan serta pendistribusian zakat akan dikenakan sanksi pidana.

Hal ini mengingat Pasal 41 yang menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Menurut Adi, keputusan pembentuk undang-undang memasukkan Pasal 38 dalam UU Pengelolaan Zakat adalah sikap yang tergesa-gesa. Dia menilai pemerintah dan DPR tidak memikirkan akibat dari implementasi pasal tersebut. Permasalahannya, sejauh ini pembentukan amil zakat yang ada di setiap masjid atau musholla tidak pernah mengharuskan adanya surat izin dari pejabat yang berwenang.

“Hanya saja, pemerintah tidak memikirkan dampak yang diakibatkan nantinya,” ujarnya dalam seminar yang bertajuk UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Potensi Peminggiran Gerakan Masyarakat Sipil Indonesia di Kampus UI, Depok, Selasa (15/5).

Adi mengingatkan penerapan pasal ini akan menimbulkan konflik sosial. Seharusnya, sebelum memasukkan Pasal 38, pemerintah menyiapkan atau membentuk satu lembaga yang akan menaungi para amil zakat ini. “Bisa-bisa nanti seluruh kyai atau amil zakat yang bisanya mengurusi zakat di musholla atau masjid jadi dipidana, padahal mereka menjalankan tugas agama,” imbuhnya.

Pasal pemidanaan pun seharusnya tidak berlaku bagi amil zakat saja. Menurutnya, selama proses pembuatan undang-undang ini, publik telah memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR untuk memberikan sanksi kepada pihak yang tidak mengeluarkan zakat. Sayangnya, pemerintah tidak mencantumkan hal tersebut di dalam undang-undang ini.

Undang-undang ini juga memberikan kekuasaan yang luas bagi Badan Zakat Nasional (BAZNAS). Selain bertindak sebagai pembuat regulasi atau regulator, badan ini juga berfungsi sebagai operator. Adi mempertanyakan kenapa BAZNAS selaku regulator juga berfungsi sebagai operator.

Ia mengusulkan agar pemerintah dapat membuat skema pengelolaan zakat sama seperti pengelolaan perbankan di Indonesia. Pasalnya, objek yang dikelola adalah sama yakni uang dari masyarakat. Dengan begitu, pemerintah dan masyarakat memiliki ruang yang sama dengan pemerintah dalam melakukan pengelolaan terhadap dana zakat tersebut.

“Artinya, masyarakat dan pemerintah harus kerjasama agar tidak ada penyelewengan dana zakat tersebut,” tuturnya.

Adi menambahkan, penerapan skema yang sama dengan perbankan akan mengoptimalkan penerimaan zakat di Indonesia. Dari situ, masyarakat dapat memilih lembaga zakat mana yang mereka percaya sebagai tempat untuk menyalurkan zakat. Dia berpendapat, tidak optimalnya penerimaan zakat dikarenakan masyarakat memiliki rasa kurang percaya sehingga lebih memilih jalur mengeluarkan zakat dengan cara sendiri.

Pada dasarnya, Adi tidak menolak keberadaan UU Zakat ini. Dia membenarkan pemerintah berniat untuk menertibkan amil zakat yang jumlahnya cukup banyak di seluruh Indonesia. Hanya saja, sambungnya, ada beberapa pasal yang harus diperbaiki. “Untuk itu, judicial review merupakan salah satu jalan keluar yang tepat,” katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Uswatun Hasanah, justru memandang positif undang-undang ini. Dia mengatakan, penerapan pidana kepada amil zakat adalah hal yang wajar. Menurutnya, Islam mengatur hukuman bagi siapa saja yang melakukan penyelewengan terhadap dana masyarakat, dalam konteks ini adalah zakat.

“Sejauh ini pemerintah tidak tahu kemana uang zakat tersebut? Apakah betul disalurkan dengan benar oleh amil zakat atau ada penyelewengan? Kalau terdaftar maka pemerintah jadi bisa mengawasi,” ujarnya di acara yang sama.

Namun, ia mengingatkan agar publik mengawasi proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dari undang-undang ini. Jika tidak, aturan turunan dari UU Pengelolaan Zakat akan menimbulkan masalah. Padahal, katanya, undang-undang ini sudah disusun sedemikian rupa untuk menggali dan mengoptimalkan penerimaan zakat di Indonesia.

Ia mengakui tidak optimalnya penerimaan zakat disebabkan oleh rasa kurang percaya masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada badan amil zakat yang ada di Indonesia. Jadi jangan heran, jika banyak yang memilih menyalurkan zakat sendiri sehingga berujung dengan keributan. Ia mencontohkan saat pemberian zakat di Pasuruan pada Agustus 2008 yang menelan korban jiwa sebanyak 21 orang.

“Selain rasa kurang percaya masyarakat, penerimaan zakat menjadi tidak optimal dikarenakan hambatan politis serta sikap tradisional masyarakat Indonesia,” tandasnya.

Tags: