Perusahaan Lokal Gugat ‘Kewenangan’ BSA
Berita

Perusahaan Lokal Gugat ‘Kewenangan’ BSA

Penggugat juga mengimbau instansi terkait untuk mengusut status hukum BSA.

cr-13
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Foto: Sgp
Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Foto: Sgp

Didirikan tahun 1988, Business Software Alliance (BSA) adalah sebuah organisasi perdagangan internasional yang konsisten melawan praktik pembajakan peranti lunak (software). BSA sudah berkampanye anti pembajakan software di berbagai negara. Namun, di Indonesia, kiprah BSA terganjal oleh gugatan.

Adalah PT Multisari Langgengjaya yang menggugat BSA. Multisari mempersoalkan kewenangan BSA, khususnya terkait penggeladahan. Multisari yang pernah digeledah oleh BSA Indonesia pada 22 September 2011, merasa keberatan. Perusahaan yang bergerak di bidang distribusi makanan dan minuman itu menuding penggeledahan yang dilakukan BSA tidak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Yang digugat Multisari antara lain BSA Asia yang berkantor di Singapura, BSA Indonesia, dan BSA, Inc. Dalam petitum, Multisari meminta hakim menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp25juta dan immateriil sebesar Rp100 Miliar.

Pengacara Multisari, Insan Budi Maulana mengatakan penggeledahan yang dilakukan BSA Indonesia melawan hukum. Seharusnya, kata Insan, penggeledahan harus menyertakan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Selain itu, penggeledahan juga harus disaksikan saksi-saksi, termasuk otoritas seperti ketua rukun tetangga. “Hal ini melanggar ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, yaitu Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP,” ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (29/5).

Insan mempersoalkan penggeladahan yang dilakukan BSA Indonesia karena hanya didasarkan atas surat kuasa dari BSA Asia di Singapura. Menurut Insan, BSA juga tidak berhak mengklaim mewakili kepentingan pemegang hak cipta, karena BSA tidak memiliki surat kuasa dari para pemegang hak cipta.

Lebih lanjut, Insan mengatakan BSA Indonesia bukan merupakan institusi yang berwenang melakukan penindakan dalam rangka penegakan hak kekayaan intelektual. Terlebih, BSA tidak pernah terdaftar secara resmi sebagai suatu lembaga, badan hukum, atau perkumpulan di Indonesia.

“Sehingga sangat patut kami perkirakan BSA Indonesia telah melakukan penindakan ilegal di Indonesia. Apalagi, Kantor Perwakilan BSA di Indonesia ternyata tidak memiliki alamat atau domisili yang resmi. Mereka hanya menggunakan alamat kotak pos atau PO Box,” ungkapnya.

Selain soal kewenangan penindakan, dalam gugatannya, Multisari juga menuding BSA melakukan pemerasan karena memaksa Multisari membayar denda dengan alasan penggunaan peranti lunak palsu. Menurut Insan, hukuman denda ini tidak beralasan karena tidak ada bukti atau suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Multisari melakukan pembajakan.

“Tindakan yang dilakukan BSA telah meresahkan dan merugikan kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis nasional karena dalam operasionalnya banyak menggunakan produk-produk perangkat lunak komputer,” papar Insan.

Selain menggugat, Insan juga mengimbau pihak-pihak berwenang seperti Kementerian Hukum dan HAM untuk mengusut status hukum BSA sebagai suatu lembaga yang menjalankan kegiatan bisnis atau nonbisnis di Indonesia. Menurutnya,Direktorat Jenderal Pajak juga perlu mengusut pendapatan BSA Indonesia. Terakhir, Insan mengajak perusahaan yang senasib dengan Multisari untuk berani melaporkan BSA kepada pihak yang berwajib.

Menjawab gugatan Multisari, penasihat hukum BSA Yusfa Perdana mengatakan apa yang dipersoalkan penggugat seharusnya masuk ranah praperadilan. Ditegaskan Yusfa, BSA bukan pihak yang melakukan penggeledahan, tetapi Kepolisian.

“Menurut kami, karena penggugat selalu mempermasalahkan penggeledahan yang tidak sah, hal ini masuk ke praperadilan dan terkait bukti-bukti awal, kita hanya memberikan teori-teori hukum dan buku tentang wewenang praperadilan kepada majelis hakim,” tukasnya di luar persidangan.

Tags: