Aturan Anggaran Pelayanan Kesehatan Diuji ke MK
Berita

Aturan Anggaran Pelayanan Kesehatan Diuji ke MK

Majelis MK mengkritik permohonan karena terlalu banyak mencantumkan kasus.

Oleh:
ash
Bacaan 2 Menit
Aturan anggaran pelayanan kesehatan diuji ke MK. Foto: ilustrasi (Sgp)
Aturan anggaran pelayanan kesehatan diuji ke MK. Foto: ilustrasi (Sgp)

Jumat lalu (6/7), majelis Panel MK menggelar sidang perdana permohonan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimohonkan HF Abraham Amos (advokat) dan Johny Bakar (advokat). Spesifik mereka memohon pengujian Pasal 170 ayat (3), Pasal 171 ayat (1), (2), Pasal 173 ayat (1) UU Kesehatan terkait alokasi anggaran kesehatan dari pemerintah/pemerintah daerah.    

Mereka merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal itu lantaran tak memperoleh pelayanan kesehatan maksimal di rumah sakit. “Pasal-pasal itu dipandang tidak memenuhi standar norma keseimbangan sosial karena mempersulit masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin dan kurang mampu,” tulis pemohon dalam berkas permohonan yang diperoleh hukumonline.

Selengkapnya, Pasal 170 ayat (3) berbunyi, “Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.” Pasal 171 ayat (1), “Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.”

Pasal 171 ayat (2) berbunyi, “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,  kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.” Pasal 173 ayat (1), “Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.

Amos menjelaskan pengalamannya saat anaknya yang menderita sakit ginjal tak bisa memperoleh akses pelayanan kesehatan secara cepat lantaran terbentur biaya. Sebab, pihak rumah sakit pun terkendala harus “memaksa” pasiennya untuk mendeposit atau pembayaran sejumlah uang sebagai uang muka. “Belum lagi, saya mencoba mencari keringanan biaya kepada pemerintah dihadapkan birokrasi yang berbelit-belit,” keluhnya.

Menurutnya, komersialisasi jaminan sosial seperti diatur dalam Pasal 170 ayat (3), Pasal 171 ayat (1), (2), Pasal 173 ayat (1) UU Kesehatan standar norma perlindungan hukum (legal protection norm) secara langsung kepada masyarakat miskin dan kurang mampu. Terutama masyakat yang mengidap penyakit kronis.

Justru yang terjadi, kata pemohon, menambah kompleksitas dan mempersulit masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan secara utuh. Selain itu, dalam Penjelasan Umum UU Kesehatan tak menjelaskan secara rinci bagaimana prosedural pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan kurang mampu untuk memperoleh kemudahan layanan di rumah sakit.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 170 ayat (3), Pasal 171 ayat (1), (2), Pasal 173 ayat (1) UU Kesehatan karena bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), (3) jo Pasal 34 ayat (2), (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pinta pemohon.

Menanggapi permohonan, Anggota Panel Hakim Konstitusi, M. Akil Mochtar menyarankan agar format permohonan diperbaiki. Misalnya, diawali dengan kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum pemohon yang menguraikan kerugian atau potensi kerugian konstitusional jika pasal-pasal yang diuji tetap berlaku, dan pokok permohonan.

“Saudara bisa lihat contoh permohonan di MK karena dalam permohonan Saudara terlalu banyak sekali menjelaskan case (kasus), seharusnya kasus hanya entry point untuk masuk ke pokok permohonan yang menguraikan pertentangan norma. Sebab, kalau terlalu banyak kasus, kesimpulannya bukan pertentangan norma, tetapi menyangkut penerapan norma,” kritiknya.

Karena itu, ia meminta pemohon fokus pada uraian pertentangan norma dan ditambah dengan teori-teori atau pendapat ahli yang menguatkan bahwa jaminan sosial yang diatur dalam UUD 1945 merupakan kewajiban negara.

“Teori kedaulatan negara dalam menjamin hak-hak warga negara yang salah satunya jaminan atau pelayanan kesehatan. Ini agar kita lebih mudah memahami maksud pemohon sesungguhnya. Permohonan harus dikonstrusikan kembali,” sarannya.

Anggota panel lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan agar permohonan diuraikan bahwa pasal-pasal yang diuji menghalangi pelayanan kesehatan bagi warga negara. “Pasal-pasal itu menjadikan warga negara tidak memperoleh hak konstitusional berupa, ini, ini, seharusnya uraiannya seperti itu. Kalau melihat petitumnya saya kira sudah betul, tetapi positanya (uraian pokok permohonan) yang harus diperbaiki,” sarannya.  

Tags: