RUU TKI: Wajah Baru, Isi Lama
Berita

RUU TKI: Wajah Baru, Isi Lama

LSM menilai tak ada perubahan signifikan dalam RUU TKI.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Suasana bandara. Foto: SGP (Ilustrasi)
Suasana bandara. Foto: SGP (Ilustrasi)

Beberapa waktu lalu DPR telah membuat RUU Perlindungan TKI di Luar Negeri. Sayangnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai rancangan tersebut tidak berbeda dengan UU No 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN. Kalaupun ada perubahan, itu hanya dilakukan seputar istilah.

Direktur Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan rancangan tersebut tidak mencerminkan sedikit pun sejumlah konvensi internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia. Salah satunya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Dari rencana itu Anis melihat DPR menganggap persoalan pekerja migran secara sederhana, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Untuk membuat RUU Perlindungan TKI di Luar Negeri, anggota DPR melakukan studi banding dan membahas rancangan itu sejak tiga tahun yang lalu. Sayangnya, masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam pembahasan itu. Oleh karena itu, Anis tidak melihat ada perubahan yang substantif dalam  RUU Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Misalnya, paradigma perlindungan belum dikedepankan. Walau kata pertama pada rancangan UU itu adalah 'perlindungan', namun isinya tidak mencerminkan secara tegas perlindungan yang substantif. RUU ini justru masih menekankan pada bisnis penempatan. Kemudian untuk jaminan sosial – ekonomi bagi pekerja migran, Anis melihat pemerintah tak menyetujuinya.

Soal Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), Anis menyebut mayoritas persoalan dalam mengelola pekerja migran ada di PJTKI. Namun, rancangan tersebut masih menempatkan PJTKI sebagai salah satu pihak utama dalam mengelola pekerja migran. Menurut Anis, PJTKI seharusnya hanya mengurusi perjalanan pekerja migran dari tempat asal menuju negara tujuan. Sehingga tidak mengurusi masalah pelatihan, perlindungan dan lainnya.

Anis menyoroti masalah terberat dari biaya yang harus dikeluarkan calon pekerja migran, yaitu biaya pelatihan. Untuk menekan biaya tersebut, Anis menilai harus ada campur tangan pemerintah. Dalam pelatihan sebelum pemberangkatan itu, menurut Anis pihak Kementerian Hukum dan HAM juga harus dilibatkan. Untuk mengawasi pengelolaan pekerja migran harus ada lembaga pengawas khusus untuk pekerja migran. Anis berpendapat Ombudsman harus dilibatkan.

Terkait fungsi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang dirasa tidak maksimal melakukan perlindungan, Anis berharap agar diganti dengan Komisi Perlindungan Buruh Migran Indonesia atau komisi lainnya yang serupa.

Tags: