Perlu Koordinasi atasi Tumpang Tindih KP Lahan Produksi
Utama

Perlu Koordinasi atasi Tumpang Tindih KP Lahan Produksi

Kepastian regulasi dan koordinasi diperlukan untuk menghindari sengketa lahan KP.

RIMBA SUPRIYATNA
Bacaan 2 Menit
Pertamina. Foto: Sgp
Pertamina. Foto: Sgp

Grand Manager Pertamina EP Kawasan Timur Indonesia, Satoto Agustono, mengatakan tingginya potensi tumpang tindih kuasa pertambangan lahan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Menurutnya, dengan kondisi geologis Indonesia, secara alamiah bukan tidak mungkin dalam satu lahan migas di atas permukaannya terdapat sumber daya mineral dan batubara. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan komunikasi yang intensif antara kontraktor migas dengan kontraktor minerba. 

“Kuncinya koordinasi dengan pihak kontraktor minerba harus terus dilakukan agar tidak terjadi kerugian, khususnya bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dari Pertamina EP,” katanya kepada hukumonline di sela-sela acara media briefing dengan tema 'Upaya Peningkatan Produksi Migas Pertamina dari Kawasan Timur Indonesia', di Jakarta, Jumat, (15/2).

Dari aspek pengaturan, menurutnya, saat ini sudah ada Peraturan Penggunaan Lahan Bersama (PPLB) yang teknis pengaturannya sudah dibahas di SKK Migas. Salah satu model yang dipakai adalah lahan yang menjadi lokasi wilayah kerja pengeboran atau lokasi eksplorasi dari Pertamina EP akan diklasifikasi ke dalam tiga kategori zona sesuai dengan PPLB tersebut.

Pertama, zona dengan warna merah, di mana kontraktor minerba tidak dapat memasuki wilayah tersebut untuk melakukan penambangan. Kedua, zona dengan warna kuning yang mewajibkan kontraktor minerba untuk mengajukan izin dan memberitahukan kepada pemegang hak wilayah kerja kontraktor migas mengenai rencana kegiatan pertambangan yang akan dilakukannya. Ketiga, zona dengan warna hijau yang memberikan indikasi bahwa kawasan tersebut bisa digunakan untuk kegiatan pertambangan, walaupun pada akhirnya tetap harus melaporkan kegiatannya kepada pemegang hak wilayah kerja.

“Dengan klasifikasi tersebut, operator atau kontraktor tetap harus berkoordinasi dengan Pertamina EP untuk setiap aktivitas pertambangan minerba yang dilakukannya,” ujarnya.  

Selain itu, ia menegaskan bahwa masing-masing pihak diharapkan untuk mengedepankan aspek Health, Safetyi dan Environment (HSE) karena dapat mengurangi risiko-risiko yang tidak diinginkan. “Kegiatan operasi yang berbeda karakter tidak bisa dijadikan alasan dalam hal HSE,” tegasnya.

Mengenai lingkungan hidup, ia mengingatkan tentang adanya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurutnya, peraturan tersebut dapat dijadikan media untuk mengharmonisasikan aktivitas pertambangan migas dan minerba untuk kepentingan lingkungan.

Tags:

Berita Terkait