RUU Ormas Posisikan Masyarakat Sebagai Ancaman
Utama

RUU Ormas Posisikan Masyarakat Sebagai Ancaman

Ironis, jika Pemerintah selalu mencurigai rakyatnya. Padahal, rakyatlah yang seharusnya mengawasi pemerintah

ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi massa menolak UU Ormas ketika masih RUU. Foto: SGP
Aksi massa menolak UU Ormas ketika masih RUU. Foto: SGP

Akademisi sekaligus peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menilai RUU Ormas punya cara pandang yang salah sejak awal dibentuk. Pasalnya, RUU Ormas melihat masyarakat sebagai sumber ancaman bagi pemerintah. Masyarakat dianggap sebagai sumber konflik dan disintegrasi bangsa. Untuk mengatasi masalah itu, lewat sudut pandang yang keliru, pemerintah dan DPR membentuk RUU Ormas.

Oleh karenanya, Syamsuddin menilai sangat wajar jika sejumlah elemen masyarakat sipil menolak pengesahan RUU Ormas. Sekalipun DPR berdalih sudah memperbaiki ketentuan yang termaktub di dalamnya, tetap saja RUU Ormas harus dibatalkan karena paradigma yang digunakan salah.

Ketimbang mencurigai, Syamsuddin mengatakan Pemerintah dan DPR harusnya mengembalikan posisi rakyat sebagaimana mestinya, yakni sebagai sumber legitimasi bagi berjalannya kegiatan pemerintahan. “Saya tidak habis pikir kenapa pemerintah dan DPR sangat ngotot untuk mengesahkan RUU Ormasyang esensinya mencurigai rakyat sendiri,” katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (30/6).

Dari pantauannya Syamsuddin mengatakan Pansus RUU Ormas berdalih sudah menyerap aspirasi dari masyarakat sehingga ketentuan yang ada dibenahi. Lagi-lagi Syamsuddin mengatakan sehalus apapun ketentuannya diperbaiki, tetap tidak mengubah cara pandang RUU Ormas yang sudah keliru dari awal. Sekalipun nanti DPR mengesahkan RUU Ormas, Syamsuddin yakin hasilnya akan sia-sia karena regulasi itu tidak diinginkan rakyat. Pasalnya, RUU Ormas berpotensi besar menimbulkan konflik antar kelompok di masyarakat karena pemerintah melembagakan kecurigaan dalam ketentuan itu.

Pada kesempatan yang sama Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengatakan pemicu dibentuknya RUU Ormas karena keresahan Presiden SBY melihat tingkah ormas tertentu yang kerap melakukan sweepingdan tindak kekerasan. Merespon hal tersebut Kemendagri dan DPR membentuk RUU Ormas. Padahal, terjadinya tindakan yang meresahkan Presiden itu justeru karena lemahnya aparat penegak hukum menunaikan kewajibannya melakukan penindakan.

Alih-alih memperkuat aparat penegak hukum, Neta melihat yang dibentuk malah rancangan peraturan yang ditengarai bakal mengekang kebebasan berserikat masyarakat. Apalagi, RUU Ormas tidak akan menjamin ketika diterbitkan, ormas yang melakukan tindak kekerasan itu menghentikan aksinya. “Pemerintah dan aparat penegak hukum itu harusnya tinggal melakukan tindakan tegas saja kepada ormas yang melakukan sweeping dan tindak kekerasan,” tuturnya.

Pendiri YLBHI, Adnan Buyung Nasution, mengatakan sangat tidak tepat jika RUU Ormas disahkan. Sebagaimana Syamsuddin, Buyung menilai RUU Ormas punya paradigma yang salah karena rakyat dianggap sebagai ancaman. Padahal, di era demokrasi sudah sepatutnya rakyat yang mencurigai kekuasaan. Sebab, kekuasaan punya tendensi yang besar untuk diselewengkan dan ujungnya merugikan rakyat. Seperti membatasi kebebasan berserikat sebagaimana terlihat dalam RUU Ormas.

“Peraturan seperti itu terjadi pada masa orde lama dan orde baru, sekarang muncul lagi RUU Ormas, ini berarti ada pemikiran yang jungkirbalik dari pemerintah,” tegas Buyung.

Jika pemerintah serius membangun demokrasi, hukum dan HAM, Buyung melanjutkan, harusnya segala ketentuan yang berbau otoriter tidak ada. Oleh karenanya, bukan hanya RUU Ormas saja yang layak dicabut, tapi juga UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mengelola ormas, seperti UU Yayasan dan Perkumpulan. Ketika kedua peraturan itu dirasa kurang, maka dapat direvisi sesuai perkembangan yang ada di masyarakat.

Selain itu persoalan lainnya menurut Buyung adalah lemahnya pejabat pemerintahan menjabarkan peraturan yang sudah ada itu. Sehingga di implementasinya tidak dapat dilakukan dengan baik. “Tidak perlu dibikin UU yang baru, jalankan saja peraturan yang sudah ada secara serius,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait